Malam yang dingin, betapa nikmatnya makan yang pedas-pedas, agar tubuh sedikit lebih hangat. Aku berencana membeli lauk untuk makan malam di luar. Diskusi sebentar sama suami sebelum menuju tempat yang diinginkan. Akhirnya, memutuskan membeli ayam kremes. Hmmm… sedap sekali membayangkan santapan ayam yang bila digigit terasa sekali kriuknya, belum lagi disertai nasi panas, teh panas atau jeruk panas, melayang-layang difikiran, menggoda perut untuk berteriak lebih kencang lagi. Pasalnya, aku dan suami begitu kelaparan. Dalam sehari ini, belum sekalipun diisi nasi, sudah terlalu sibuk memikirkan banyak urusan yang akan dikerjakan, jadi agak kurang nafsu makan. Masih beruntung, kemarin malam aku membuat cake marmer, jadi bisa untuk mengganjal perut seharian tadi, ditambah ngemil-ngemil makanan ringan yang memang selalu tersedia. Berangkatlah kami mengendarai motor menuju warung ayam kremes. Disebut warung, karena tempat mangkal ayam tersebut, memang hanya sekedar bilik bambu, sedikit kursi makan, dan lesehan yang tidak terlalu luas. Namun rasanya…hmmm, jangan ditanya, sejak dibukanya warung mulai jam 12 siang sudah dijejali pembeli yang mengantri, sampai malam sekitar jam 9. Selain rasanya enak, lezat, harganya pun murah meriah, pas dikantong mahasiswa. Juga dikantong ku, hehe… ngirit…. “ Sudah mba, ini ayamnya..” sapa mbak penjual ramah.
“ Berapa mba? Sama kerupuknya sekalian ya !“ jawabku sambil mengeluarkan uang dan menunjuk kerupuk yang sedang dipegang anakku.
“ 8500 mba, sama kerupuk jadi 9 ribu “ aku menyerahkan selembar uang 50ribuan. Penjual itu pun segera memberikan kembalian uangnya.
“Trimakasih mba!” senyumku yang manis kuberikan untuk si mbak penjual.
“ Sama-sama..” balas mbaknya ramah.
Kubawa bungkusan berkresek hitam itu sambil menggandeng maza menyusul ayahnya. Tadi suamiku izin mau ke masjid untuk Sholat Isya sambil menunggu matangnya ayam kremes itu. Baru melangkah sekitar 5 menit, aku urungkan menyusul suamiku. Terlintas dibenakku kalau-kalau masjid yang didatangi suamiku bukan masjid yang ingin aku datangi ini, akhirnya kuputar haluan lagi, kembali kearah warung ayam kremes itu. Aku menunggu di warung kosong sebelahnya bersama maza. Tak henti hillir mudik kendaraan roda dua didepanku, karena warung tersebut memang berada di perempatan jalan besar. Terasa dingin merayapi tubuh yang tanpa jaket. Aku dan maza memperhatikan aliran motor datang dan pergi mengunjungi warung ayam kremes ini, terus dan terus ada. Baunya sangat menggoda selera, ingin segera aku pulang dan menyantap habis semuanya, hehe. Saat itu, entah karena melihat apa, tiba-tiba Maza berkata “Bunda, aku mau ke rumah Mbah ya ? Mau nengokin Mbah Uti yang lagi sakit di Rumah Sakit…” ucapnya dengan logatnya yang lucu diiringi wajahnya yang innocent. Di usia nya yang ke 3, ia belum begitu paham bahwa Mbah Uti nya sudah meninggal, karena terakhir kali ia melihat, Mbah Utinya masih dirawat di Rumah Sakit, jadi tahunya ya Mbah nya masih disana. “ Mbah Uti sudah nggak ada, sudah bobo disana…itu loh, didalam tanah yang waktu mba Maza diajak nengokin Mbah Uti buat berdoa…” jawabku sambil tersenyum geli, lah wong minta ke rumah Mbah ko, pakai alasan nengokin ke Rumah Sakit, he….
“Ha, Didalam tanah ? aku…aku kemarin lihat Mbah Uti ya, sama Mas Fajar, diatas rumput itu loh Bunda…! Yang di rumah Mbah…” katanya meyakinkan, sembari tangannya sambil menunjuk-nunjuk ke aku, untuk lebih meyakinkan lagi. Kebetulan rumah mbah nya memang dekat dengan kuburan, dan Maza pernah aku ajak kesana untuk ziarah, sepertinya ia masih mengingatnya. “Mbah Uti sudah bobo, jauh….disana tuh !” kataku lagi sambil menunjuk kearah langit. “ Di langit Bunda ? Ntar jatuh loh Bunda…” lagi-lagi ia tampak serius menanggapi jawabanku.
“Nggak jatuh, kan dijaga sama Allah…!”
“ Dijaga Allah ? Kok Allah nya nggak keliatan Bunda…? Mana ?” tanyanya lagi sambil mencari-cari keberadaan Allah. “Allah itu ada dimana-mana Za…” baru sempat berkata sedikit dan ingin menjelaskan, suamiku datang. Dengan riang, Maza menyambut ayahnya dan segera melupakan percakapan tadi. Sepanjang perjalanan pulang, aku masih saja geli dengan percakapan di warung tadi. Dan itu akan menjadi moment yang indah buat aku, Maza dan saksi bisu warung kosong itu. Aku bahagia bisa terlibat percakapan langsung dengan bidadari kecil ku, walau belum sempurna jawaban yang aku berikan, tapi paling tidak, aku tahu bahwa ia adalah anak yang kritis dan pintar. Aku harus banyak belajar agar suatu saat bila ada pertanyaan-pertanyan lain, aku bisa menjawabnya dengan baik dan sesuai dengan nalar anak-anak seusianya. Subhanallah.