“Itu kan
seharusnya nggak boleh ya? Jemur pakaian bayi malam-malam!”
Saya senyum-senyum sendiri mendengarnya,
ditambah lagi kalimat,
“ Kata orang jawa..bla..bla..bla…”
Sebegitu
ketatnya kah peraturan orang jawa itu ? Atau hanya sekedar mitos belaka ? Ah,
saya sebenarnya paling malas ngeladenin kalimat seperti itu, disamping saya bukan
penganut mitos - mitos jawa, saya juga punya keyakinan, bahwa hal-hal seperti
itu (menjemur pakaian bayi malam-malam) tidak bertentangan dengan syariat
islam.
Bukan sekali dua
kali saya dengar tentang hal-hal seperti itu, tapi kerap kali, sejak hijrah ke kota batik ini. Dulu,
ketika hamil, banyak sekali pantangan yang justru datang dari lingkungan
sekitar tempat saya tinggal, bukan dari mertua, apalagi suami.
Pernah ketika
lagi bantu-bantu masak untuk acara hajatan tetangga, di sini disebutnya
‘rewang’, saya melihat ujung jari saya agak sedikit kotor terkena bumbu. Karena
tidak ada lap, dan merasa kotorannya sedikit, jadilah saya lap tangan kotor itu
di baju, eh ada yang lihat, langsung dibilang, “jangan di lap di baju mba, ora
apik, kata orang jawa, nanti anaknya belang-belang loh…!”
Weits, belang? Apa
zebra ya? Atau kucing ? Itu yang terbayang dalam fikiran saya, hehe… Maksud
mereka belang itu artinya si anak nanti akan punya tompel, tanda lahir
dimana-mana.
Lucu ya ? Hubungannya apa coba, kotoran bumbu
masak di lap dibaju sama belang ? Aneh bin ajaib. Aku senyum saja, bukan senyum
mengiyakan, tapi senyum karena fikiran ku melanglang buana tentang makna belang
tadi, hehe…
Ada lagi, saat saya
ketahuan merendam wadah rice cooker
semalaman, lagi-lagi saya dinasehati untuk tidak merendam wadahnya dengan air, habis
dipakai langsung dicuci, jangan direndam segala, nanti anaknya kenapa-kenapa,
dsb, dst.
Haduh, capek
deh….!
Lagi, waktu awal pindahan rumah baru, ketika saya masih hamil tua, tanpa
sengaja ditanam, tumbuh pohon pepaya di depan rumah, dan itu banyak yang
komentar, katanya, ” Kok tanam pohon pepaya didepan rumah ? nanti anaknya cepat
sakit loh!” lha dalah, segitunya…!
Terakhir kemarin,
sambil nyuapi anak, saya bercengkrama dengan beberapa orang tetangga. Karena
ada sedikit nasi yang tercecer di teras tetangga, saya merasa tidak enak, dan
dipunguti lah satu-satu nasi itu, sambil mengibas-ngibaskan jari untuk
membersihkan semuanya. Pakai jari, karena kalau nyapu ya nggak enak, lah wong
mereka lagi pada duduk lengseran di lantai.
Melihat
perbuatan saya memunguti nasi, yang percaya mitos langsung memberi saya nasehat
“Mbak, jangan gitu, kalau kata orang jawa, nanti kalau punya hutang nggak bisa
nyaur ( bayar ) loh..!” yang lain menjawab, “wong mbak xx ( saya) nggak punya
hutang kok…!” entah itu sindiran atau bukan,
saya, sih, cukup mengaminkan saja apa yang dia bilang, syukur-syukur hutang
cicilan rumah malah bisa dilunasi dengan segera, hehe…
Sambil ucap
istighfar dalam hati saya juga berdoa., ya Allah semoga tidak terjadi pada saya !
( Kalau gini ketakutan apa nggak ya?! hehe…)
Saya yang terus
mencoba bersikap cuek, dan berfikir pakai logika, selalu tetap risih mendengar
nasehat yang nggak jelas menurut pandangan saya. Berkali pula saya berusaha
menjelaskan dengan bahasa yang baik, bahwa, itu semua tidak berdasar, kalau
memang benar terjadi, ambil positifnya saja, mungkin maksudnya kalau jemur
malam-malam itu nanti masuk angin, kalau begini nanti begitu, dll. Tapi tetap
saja tidak berpengaruh banyak, karena judulnya sudah yakin dengan ilmu turun
temurun, tanpa disertai pemahaman agama yang baik, jadi ya, begitulah.
Maaf ya ibu-ibu
yang baik, bukannya saya anak nakal yang tidak bisa dinasehati, tapi, ya ini
lah salah satu hal yang tidak masuk akal dan tidak ada bukti ilmiahnya (dalil
aqli dan naqli), jadi tanggapan saya ya hanya sekedar masuk kuping kanan keluar
kuping kiri saja dalam menerima masukannya, jadi, sorry aja ya kalau itu semua tidak saya jalani.
Kebetulan juga,
walau orangtua saya berasal dari pulau Jawa, namun cukup lama mereka tinggal di
Jakarta, berbaur dengan berbagai suku, etnis, dan, lama kelamaan kebiasaan
seperti itu pun -percaya mitos- mulai mengikis. Kalau pun bilang tentang suatu
mitos, itu juga diserahkan ke kita mau percaya atau tidak, biar kita berfikir
sendiri ( kan
anaknya pinter-pinter, ya, Bu? hehe…).
Mungkin mereka
pun tidak sampai hati menularkan mitos-mitos tanpa dasar itu kepada
anak-anaknya, karena zaman mereka hidup, kan, berbeda dengan zaman
anak-anaknya. Mungkin semakin baik juga pemahaman mereka terhadap nilai-nilai
agama, kalau hanya sekedar mitos, ah, lewat deh !
Saya ingat sebuah hadist, “Aku bersama prasangka hamba Ku”
أَنَا
عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي
نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ في نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلأٍ
خَيْرٍ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا
وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي
يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً
"Aku sesuai prasangka hamba-Ku
kepada-Ku, dan Aku akan bersamanya selama ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku
dalam dirinya maka Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku, jika ia mengingat-Ku
dalam sekumpulan orang maka Aku akan mengingatnya dalam sekumpulan yang lebih
baik dan lebih bagus darinya. Jika ia mendekat kepada-Ku satu jengkal maka Aku
akan mendekat kepada-Nya satu hasta, jika ia mendekat kepada-Ku satu hasta maka
Aku akan mendekat kepadanya satu depa, dan jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan
maka Aku akan mendatanginya dengan berlari." (HR. al-Bukhari dan
Muslim)
Dan saya sangat
meyakini, bahwa, benar bila Allah itu selalu mengikuti prasangka hamba Nya. Jadi,
bila seseorang itu begitu percaya, begitu memegang teguh terhadap suatu hal -
mitos -, maka Allah benar-benar akan menimpakan itu padanya, sehingga orang
tersebut akan benar-benar semakin yakin bahwa yang di percayai-nya itu terbukti
benar, cepat atau lambat..
Bicara masalah
mitos tadi, membuka fikiran saya untuk menjelajahi diri sendiri, pernah kah
saya sendiri memberlakukan mitos itu ?
Saya mulai
mengingat-ingatnya, dan, astaghfirullah,
yups, terkadang saya pun sedikit terpengaruh juga dengan mitos, ‘ kalau ada
kupu-kupu datang ke rumah, berarti mau ada tamu’ hehe.
Walau keberhasilan
itu juga tidak 100% benar, fifty-fifty,
terkadang benar, terkadang salah. Berarti dari satu hal itu seharusnya tidak
bisa diambil kesimpulan bahwa memang benar kupu-kupu datang itu menandakan akan
ada tamu, karena prosentase kebenaran-nya tidak valid, tidak berada dinilai
sempurna 100%.
Tidak bisa
dibayangkan kalau sampai perlakuan kepercayaan pada mitos sudah merasuk menjadi
mengimani (percaya yang sebenar-benarnya), justru nanti murka Allah akan datang
karena sandarannya bukan takdir, tapi mitos.
Batal dong dua
kalimat syahadat saya yang mengakui Allah sebagai Tuhan, dengan mengakui mitos
tadi. Naudzubillahi min Dzalik! Namanya juga manusia, terkadang, lingkungan itu
bisa sangat mempengaruhi diri kita ketika iman kita sedang lemah, dan kita
tidak siap ilmu dalam menghadapi berbagai macam masukan, terutama masukan yang seperti itu, jadinya,
justru kita lah yang terbawa.
Walau saya
berusaha untuk kekeuh tidak mempercayai
semua mitos seperti itu, tapi tetap saja, di telinga, fikiran, masih kerap
terbayang-bayang, takut-takut kalau suatu saat hal itu terjadi. Wah kalau
sampai hal itu menaungi diri saya, saya hanya perlu iman, bersandar pada
ketetapan Allah saja,
Kun Fayakun,
bila sudah masanya terjadi, terjadilah ! Sambil mengingat yang tadi, kalau
memang memang misalnya aku kesulitan bayar hutang, ya tetap positif thinking saja, selama sudah berusaha maksimal, doa,
dan tawakal, itu kan
berarti memang sudah jalannya, bukan karena pengaruh membersihkan lantai dengan
tangan (memunguti nasi jatuh satu per satu).
Sulit juga
memang menghindari pembicaraan yang sudah sangat umum tersebut, tapi bukan berarti
sulit untuk tidak memercayainya. Justru kebanyakan sulitnya adalah untuk
membuang jauh-jauh omongan semacam itu dalam fikiran, terus terbawa, apalagi
bila pembicaraan yang menjurus kesitu kerap kali mampir bila sedang
bercengkrama dengan bagian masyarakat yang mempercayainya.
Pernah juga saya
ditolong dengan jawaban tetangga yang lain, entah itu menyindir atau tulus,
dia bilang “orang mbak xxx(aku) bukan wong jowo kok…!”
Biarlah, apapun
niatnya bicara, paling tidak, sedikit menyelamatkan saya dari nasehat seperti
itu. Jurus jitunya lagi, kalau kira-kira sudah menyerempet kearah sana diawal kalimat
pembuka, lebih baik, kabur…………!
Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Yang copas tulisan di blog saya, mohon sertakan link ya....thx...