Episode Bikin Kue
Satu hal yang paling saya sukai,
yaitu ngemil, apapun, asal enak
menurut ukuran lidah, pasti saya santap, tak bersisa. Walaupun
hobi ngemil, alhamdulillah berat
tubuh saya tidak melebihi batas ideal menurut perhitungan medis. Susahnya, ketika saya sudah berumah tangga, hobi ngemil menjadi terbatas, hehe. Bagaimana
tidak, dengan anggaran keuangan untuk makan yang telah disepakati bersama,
mengharuskan saya berfikir cermat, bagaimana cara melampiaskan kesukaan ngemil, tanpa membuat anggaran lain ikut tersedot.
Akhirnya, salah satu solusinya, saya mencoba untuk membuat kue sendiri di rumah, lebih hemat dan sehat. Semakin
lama, saya semakin ketagihan nge-baking. Rupanya kegemaran baking-bakingan
itu memberikan semangat tersendiri ke Maza yang saat itu berusia sekitar dua
tahunan. Ia begitu antusias jika saya sudah memberi lampu merah, “Bunda mau bikin
kue loh!”
Bisa dipastikan ia langsung meninggalkan permainan yang sedang
dilakukannya, dan tak jarang, ia malah promosi keteman-temannya “ Eh, eh, bunda
ku mau bikin kue ! ayo kerumahku !” begitu biasanya sikap Maza.
Sesekali teman-temannya
pun berkerumun dirumah, melihat bundanya Maza demo masak. Namun, lain untuk
saat itu, ia mau segera pulang, tanpa mengajak temannya dan tak sabar untuk ikut
serta membantu.
Berbagai bahan yang telah tersedia, saya keluarkan dari lemari. Saya berencana membuat sponge cake coklat.
Maza mengintili kemana pun saya berjalan, diselingi berbagai pertanyaan khas Maza
tentunya (tergagap-gagap, tapi beruntun).
Dengan suara khasnya yang halus, ia
memulai pertanyaan tentang nama-nama
bahan yang saya gunakan, dilanjutkan dengan pertanyaan kue apa yang akan
dibuat, dan celoteh-celoteh kecil lainnya bak kereta api yang sulit berhenti. Lucu
sebenarnya, sesekali saya senyum-senyum sendiri mendengar ocehannya, tapi karena masih sibuk menimbang dan menakar, jadi sedikit kurang respon dengan
pertanyaan-pertanyaan Maza, menjawab seadanya, dengan “hm, iya, boleh”, sadis.
Saya menaruh baskom, terigu yang telah dicampur coklat bubuk, dan mixer di ruang tv, untuk melakukan
pengocokan antara telur dan gula. Karena mixer
yang saya gunakan itu ada penyangganya, jadi tak perlu repot untuk memeganginya
pakai tangan.
Mixer berputar di angka
satu, dilanjutkan angka dua, dan berakhir di angka tiga, batas maksimal
kecepatan mixer yang saya miliki. Maza
terlihat hikmat sekali menatap putaran baskom yang memecah bulatan kuning telur
satu persatu, sambil sesekali mulutnya mengoceh riang jika ada kuning telur
yang masih utuh, menunggu sampai tiba waktunya ia pecah, dan rata oleh bahan
lainnya.
Dalam pandangannya, mungkin kocokan tersebut adalah hal yang amazing, hingga membuat matanya tak
berkedip, tapi anehnya, masih sempat ia bertanya pada saya, berulang-ulang,
seperti hendak memastikan lagi bahan-bahan apa saja yang dipakai dan untuk
siapa kue itu dibuat.
“Za, hati-hati, jangan dipegang-pegang ya, nanti kesetrum!” pinta saya sambil menyolek Maza, dan segera beranjak kedapur.
“Iya! Aku cuma lihat aja kok
bunda” jawabnya enteng sambil terus menatap perputaran adonan.
Di dapur, saya melelehkan
mentega. Hampir lumer sempurna, tak
terdengar lagi ocehan Maza, anteng, saya pun berseru dari dapur, “Ayo,
jangan diapa-apain ya..!”.
“Enggak !” cuma itu jawabnya.
Beberapa saat lagi saya ulangi lagi
peringatan itu sambil mematikan kompor dan mengaduk lelehan tersebut. Tak ada
jawaban. Tak sampai semenit, saya kembali menengok ke ruang TV, Olala….Maza tengah asyik
memasukan campuran tepung dan coklat bubuk kedalam baskom kocokan telur dan
gula yang belum mengembang sempurna. Tepung sudah hampir habis. Aku
melotot, refleks berteriak dengan sedikit bentakan “Maza…, diapain kuenya!”
Ia
kaget, ketakutan, langsung melepaskan sendok yang ia gunakan untuk menuang
terigu kedalam adonan.
“Aku bisa kan,
bunda ? Aku mau buat kue, bantuin Bunda !” katanya merajuk.
“Bantuin bukan gini caranya, tadi, kan, Bunda sudah bilang, jangan dipegang-pegang…!” kata saya agak tinggi. Ia memasang
wajah memelas, aih mana tahan ?
“Maza anak pintarkan ? Kok nggak nurut sama Bunda !” Kata saya gemas, sambil menatapnya agak dalam. Akhirnya, tangisan pun
pecah.
Ya Allah, mau jadi apa ini kue, salah prosedur, yang ada malah bantat,
tak enak dimakan, dibuang pun mubazir. Dalam hitungan menit, saya rubah haluan, tak
jadi bikin sponge cake, saya putuskan
membuat brownis panggang saja karena pertimbangan pencampuran terigu di atas
adonan telur yang belum berjambul petruk itu.
Hiks, sedih, juga menyesal. Sedih
karena itu kue nggak jelas masa depannya. Akhirnya, saya langsung mengetim coklat blok
yang dicampur lelehan mentega. Saya juga menyesal, tidak tega melihat wajah Maza
yang setengah ketakutan dengan teriakan refleks tadi, dan pastinya ia juga
merasa bersalah, hingga ia menyingkir dari tempat saya membuat kue.
Setelah semua
proses selesai, selagi pemanggangan, saya mendekatinya, mendapati wajahnya yang
murung, saya katakan padanya dengan perlahan, menjelaskan kalau yang ia lakukan
tadi salah, karena tidak menuruti kata-kata saya. Saya arahkan ia meminta maaf,
begitu juga saya, meminta maaf padanya, karena sempat membuatnya ketakutan,
lalu menciumnya dan memeluknya agar ia sedikit tenang. Disaat ketenangan hati
seperti itu lah, aku bisa memasuki wilayah alam bawah sadarnya dengan
pesan-pesan positif.
Sepulangnya suami, sambil menikmati brownis di sore hari, saya ceritakan
kejadian tersebut padanya. Ia tersenyum sambil berkomentar “anaknya mau kreatif kok nggak boleh…!”
Hm, iya ya, kutemukan kata kreatif dalam sikap Maza siang tadi, sebenarnya
bukan tidak boleh membantu, hanya saya agak kesal dan sempat emosi, karena ia tidak
menuruti kata-kata saya, apalagi ditambah membayangkan adonan akan terbuang
percuma, dan kegagalan menikmati sponge
cake coklat yang lezat.
Saya mencoba introspeksi diri, ya, saya salah, egois. Seharusnya saya sudah menyiapkan dan menakar bahan-bahan sebelum
memanggilnya. Sehingga ketika ia pulang, tinggal mencampurkan bahan satu
persatu, tanpa perlu bolak-balik seperti tadi, yang artinya, sama saja saya
memberi kesempatan padanya untuk berkreasi sendiri tanpa dampingan.
Ia tidak
salah, justru kreatif sekali, bahkan inisiatif untuk turut serta membuat kue,
dengan cara memasukan bahan-bahan yang tersedia didekatnya. Ia tidak suka hanya
menjadi penonton, duduk anteng menunggu kue matang. Ah, Maza, maafin Bunda !
Padahal di setiap doa
bunda, selalu terselip doa pada Nya agar kau menjadi anak yang cerdas, pintar,
kreatif dan sholihah, namun mengapa dalam realitanya justru saya sendiri yang
menguburkan doa dan harapan-harapan padanya, dengan kekurang pekaan saya dalam
menyikapi tingkah lakunya. Ia masih balita, dan masa itu tak kan terulang dua kali. Sekali lagi, maafkan Bunda, sayang !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Yang copas tulisan di blog saya, mohon sertakan link ya....thx...