SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA, UNTAIAN SEDERHANA NAMUN SARAT MAKNA

Jumat, 04 Januari 2013

Cake Gagal Total !!!



Episode Bikin Kue

Satu hal yang paling saya sukai, yaitu ngemil, apapun, asal enak menurut ukuran lidah, pasti saya santap, tak bersisa. Walaupun hobi ngemil, alhamdulillah berat tubuh saya tidak melebihi batas ideal menurut perhitungan medis. Susahnya, ketika saya sudah berumah tangga, hobi ngemil menjadi terbatas, hehe. Bagaimana tidak, dengan anggaran keuangan untuk makan yang telah disepakati bersama, mengharuskan saya berfikir cermat, bagaimana cara melampiaskan kesukaan ngemil, tanpa membuat anggaran lain ikut tersedot. 

Akhirnya, salah satu solusinya, saya mencoba untuk membuat kue sendiri di rumah, lebih hemat dan sehat. Semakin lama, saya semakin ketagihan nge-baking. Rupanya kegemaran baking-bakingan itu memberikan semangat tersendiri ke Maza yang saat itu berusia sekitar dua tahunan. Ia begitu antusias jika saya sudah memberi lampu merah, “Bunda mau bikin kue loh!” 
Bisa dipastikan ia langsung meninggalkan permainan yang sedang dilakukannya, dan tak jarang, ia malah promosi keteman-temannya “ Eh, eh, bunda ku mau bikin kue ! ayo kerumahku !” begitu biasanya sikap Maza. 


Sesekali teman-temannya pun berkerumun dirumah, melihat bundanya Maza demo masak. Namun, lain untuk saat itu, ia mau segera pulang, tanpa mengajak temannya dan tak sabar untuk ikut serta membantu.

Berbagai bahan yang telah tersedia, saya keluarkan dari lemari. Saya berencana membuat sponge cake coklat. Maza mengintili kemana pun saya berjalan, diselingi berbagai pertanyaan khas Maza tentunya (tergagap-gagap, tapi beruntun). 
Dengan suara khasnya yang halus, ia memulai  pertanyaan tentang nama-nama bahan yang saya gunakan, dilanjutkan dengan pertanyaan kue apa yang akan  dibuat, dan celoteh-celoteh kecil lainnya bak kereta api yang sulit berhenti. Lucu sebenarnya, sesekali saya senyum-senyum sendiri mendengar ocehannya, tapi karena masih sibuk menimbang dan menakar, jadi sedikit kurang respon dengan pertanyaan-pertanyaan Maza, menjawab seadanya, dengan “hm, iya, boleh”, sadis. 

Saya menaruh baskom, terigu yang telah dicampur coklat bubuk, dan mixer di ruang tv, untuk melakukan pengocokan antara telur dan gula. Karena mixer yang saya gunakan itu ada penyangganya, jadi tak perlu repot untuk memeganginya pakai tangan.  

Mixer berputar di angka satu, dilanjutkan angka dua, dan berakhir di angka tiga, batas maksimal kecepatan mixer yang saya miliki. Maza terlihat hikmat sekali menatap putaran baskom yang memecah bulatan kuning telur satu persatu, sambil sesekali mulutnya mengoceh riang jika ada kuning telur yang masih utuh, menunggu sampai tiba waktunya ia pecah, dan rata oleh bahan lainnya. 

Dalam pandangannya, mungkin kocokan tersebut adalah hal yang amazing, hingga membuat matanya tak berkedip, tapi anehnya, masih sempat ia bertanya pada saya, berulang-ulang, seperti hendak memastikan lagi bahan-bahan apa saja yang  dipakai dan untuk siapa kue itu dibuat.

“Za, hati-hati, jangan dipegang-pegang ya, nanti kesetrum!” pinta saya sambil menyolek Maza, dan segera beranjak kedapur.

“Iya! Aku cuma lihat aja kok bunda” jawabnya enteng sambil terus menatap perputaran adonan. 

Di dapur, saya melelehkan mentega. Hampir lumer sempurna, tak  terdengar lagi ocehan Maza, anteng, saya pun berseru dari dapur, “Ayo, jangan diapa-apain ya..!”. 

“Enggak !” cuma itu jawabnya. 

Beberapa saat lagi saya ulangi lagi peringatan itu sambil mematikan kompor dan mengaduk lelehan tersebut. Tak ada jawaban. Tak sampai semenit, saya kembali menengok ke ruang TV, Olala….Maza tengah asyik memasukan campuran tepung dan coklat bubuk kedalam baskom kocokan telur dan gula yang belum mengembang sempurna. Tepung sudah hampir habis. Aku melotot, refleks berteriak dengan sedikit bentakan “Maza…, diapain kuenya!” 
Ia kaget, ketakutan, langsung melepaskan sendok yang ia gunakan untuk menuang terigu kedalam adonan.
“Aku bisa kan, bunda ? Aku mau buat kue, bantuin Bunda !” katanya merajuk.    
“Bantuin bukan gini caranya, tadi, kan, Bunda sudah bilang, jangan dipegang-pegang…!” kata saya agak tinggi. Ia memasang wajah memelas, aih mana tahan ? 
“Maza anak pintarkan ? Kok nggak nurut sama Bunda !” Kata saya gemas, sambil menatapnya agak dalam. Akhirnya, tangisan pun pecah.
Ya Allah, mau jadi apa ini kue, salah prosedur, yang ada malah bantat, tak enak dimakan, dibuang pun mubazir. Dalam hitungan menit, saya rubah haluan, tak jadi bikin sponge cake, saya putuskan membuat brownis panggang saja karena pertimbangan pencampuran terigu di atas adonan telur yang belum berjambul petruk itu. 

Hiks, sedih, juga menyesal. Sedih karena itu kue nggak jelas masa depannya. Akhirnya, saya langsung mengetim coklat blok yang dicampur lelehan mentega. Saya juga menyesal, tidak tega melihat wajah Maza yang setengah ketakutan dengan teriakan refleks tadi, dan pastinya ia juga merasa bersalah, hingga ia menyingkir dari tempat saya membuat kue.

 Setelah semua proses selesai, selagi pemanggangan, saya mendekatinya, mendapati wajahnya yang murung, saya katakan padanya dengan perlahan, menjelaskan kalau yang ia lakukan tadi salah, karena tidak menuruti kata-kata saya. Saya arahkan ia meminta maaf, begitu juga saya, meminta maaf padanya, karena sempat membuatnya ketakutan, lalu menciumnya dan memeluknya agar ia sedikit tenang. Disaat ketenangan hati seperti itu lah, aku bisa memasuki wilayah alam bawah sadarnya dengan pesan-pesan positif. 

Sepulangnya suami, sambil menikmati brownis di sore hari, saya ceritakan kejadian tersebut padanya. Ia tersenyum sambil  berkomentar “anaknya mau kreatif kok nggak boleh…!”

 Hm, iya ya, kutemukan kata kreatif dalam sikap Maza siang tadi, sebenarnya bukan tidak boleh membantu, hanya saya agak kesal dan sempat emosi, karena ia tidak menuruti kata-kata saya, apalagi ditambah membayangkan adonan akan terbuang percuma, dan kegagalan menikmati sponge cake coklat yang lezat.
Saya mencoba introspeksi diri, ya, saya salah, egois. Seharusnya saya sudah menyiapkan dan menakar bahan-bahan sebelum memanggilnya. Sehingga ketika ia pulang, tinggal mencampurkan bahan satu persatu, tanpa perlu bolak-balik seperti tadi, yang artinya, sama saja saya memberi kesempatan padanya untuk berkreasi sendiri tanpa dampingan. 

Ia tidak salah, justru kreatif sekali, bahkan inisiatif untuk turut serta membuat kue, dengan cara memasukan bahan-bahan yang tersedia didekatnya. Ia tidak suka hanya menjadi penonton, duduk anteng menunggu kue matang.  Ah, Maza, maafin Bunda ! 

Padahal di setiap doa bunda, selalu terselip doa pada Nya agar kau menjadi anak yang cerdas, pintar, kreatif dan sholihah, namun mengapa dalam realitanya justru saya sendiri yang menguburkan doa dan harapan-harapan padanya, dengan kekurang pekaan saya dalam menyikapi tingkah lakunya. Ia masih balita, dan masa itu tak kan terulang dua kali. Sekali lagi, maafkan Bunda, sayang !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Yang copas tulisan di blog saya, mohon sertakan link ya....thx...