Hm, mendisiplinkan anak memang bukanlah hal yang mudah, apalagi bila itu menyangkut nama baik kita di depan mata masyarakat.
Misalnya, ketika
proses dispilin itu sedang terjadi manakala beberapa pasang mata menguntit kita
untuk melihat peristiwa yang sedang terjadi antara kita dan anak kita. Seperti
halnya yang terjadi padaku kemarin sore. Kesal bin bete, itu yang aku rasakan.
Ceritanya, aku sudah mengatur jadwal
untuk mengikuti anak bermain di luar. Maza bangun tidur, main-main sebentar
bersamaku dilanjutkan dengan mandi dan makan sore, masih berkutat di dalam
rumah. Janjiku, ketika nanti makan selesai, Maza boleh main dulu di luar,
sementara aku mandi. Aku minta agar Maza tidak memanggil-manggil aku, untuk
minta ini dan itu. Ia pun menyanggupi. Jujur aja, aku hafal betul kebiasaan
dia.
Sore hari, banyak sekali tukang jualan hilir mudik depan rumahku. Tidak
satu atau dua tukang jualan, bisa lebih dari 4 jenis, yang tukang bubur ayam,
jus alpukat, bakso, siomay, belum lagi kalau tukang service jeans dan rosok-rosok
lewat, tambah banyak kan
? (kalau yang dua dari belakang nggak mungkin Maza manggil sih, hehe).
Mungkin
memang awalny ia tidak tertarik membeli satu atau dua dari sekian tukang jualan
yang lewat. Tapi, teman-temannya lah yang mendidiknya untuk ikut serta meramaikan
tukang jualan yang menggoda dengan irama khasnya memanggil pembeli, utamanya
anak-anak. Ada yang pakai ting-tingan, dong-dong-an, pakai musik plus lagu,
juga sekedar senyum menyapa anak-anak yang biasanya berkumpul di sore hari untuk
bermain.
Nah itu yang membuatku termotivasi untuk memberi warning sama Maza agar tidak memanggil-manggil aku. Selain
mengganggu kekhusukan mandi, juga karena aku tahu kalau ia sudah terlalu
kenyang makan nasi yang aku ambilkan lebih dari porsi biasanya. Ia menyanggupi
permintaan ku, kubukakan pintunya, mempersilahkan ia main dengan rekan-rekan
balitanya. Aku bisa leluasa membersihkan badan dengan jebar-jebur.
Sekitar 5
menit, walau dengan kucuran air yang deras, sayup-ssayup aku dengar suara orang
memanggil, “Bunda…!”, aku sih cuek saja, pintu depan sudah kututup kok.
Eh,
nggak lama, tahu-tahu, ada yang mengetuk pintu kamar mandi, “Bunda, bunda !”
kata suara diluar.
Hm , ini nih, sudah ada sinyal kuat, kalau dia pasti pengen
sesuatu, tapi kok dia bisa buka pintu luar ya ? fikirku bingung. Aku buka pintu
kamar mandi. Tanpa aku tanya pun, ia sudah bilang “aku mau bubur ayam, Bunda!”
katanya polos.
Ih, kenapa dia nggak ingat janjinya tadi sebelum ia main
ya ?!
Aku jawab “Nggak, Maza sudah kenyang. Main lagi aja sana, Bunda belum selesai, belum sholat
juga.”
Dia pergi sambil tetap merengek pingin bubur ayam. Hm, ternyata dia
mengambil mangkuk sendiri di lemari dapur. Ia kembali mengetuk pintu kamar
mandi dan menunjukkan padaku bahwa ia telah berhasil ambil mangkuk.
Ggrrhh,
kali kedua ia menganggu mandiku, padahal saat itu adalah jadwal dimana aku
harus memulai sholat lagi, setelah bersuci dari tamu bulanan, jadi butuh waktu lebih lama dari biasanya.
Aku longokkan kepala lagi “Maza dengar nggak, Bunda bilang nggak ya nggak, Maza
sudah kenyang, nanti muntah….!” Sambil bicara sedikit kesal kututup lagi pintu
kamar mandi.
Maza mulai menangis, yang tadinya merengek pelan mulai semakin
keras, aku bergegas menyelesaikan urusanku dikamar mandi. Aku keluar, ia
kembali menyambangi aku, sambil membawa mangkuk untuk meminta sejumlah uang
untuk dibayarkan ada tukang bubur tersebut. Dan, sialnya, itu tukang bubur
malah ngetem lagi didepan rumah, ada beberapa anak-anak yang membeli, seakan
semakin menggoda anakku untuk membelinya juga. Aku tetap bersikeras untuk tidak
menuruti permintaannya. Aku tahan tangan dan hati ku untuk tidak mengabulkan
permintaannya. Tangisnya semakin menjadi, seperti orang habis digebukin kali.
Aku kasih pilihan padanya “Maza mau main atau mau makan bubur ? Kalau mau
bubur, Maza nggak usah main. Kalau mau main nggak usah beli bubur. Gimana ?!
"
" Maza tadi sudah kenyang, suapan terakhir tadi dimuntahin, bilang sudah
kenyang.” kataku lagi.
Ia meronta-ronta dibalik pintu depan, sedang aku, karena belum mengenakan
jilbab, hanya berada di balik pintu. Kesal juga sebenarnya sama tuh tukang
bubur, kenapa nggak pergi-pergi, malah nunggu diluar, padahal aku sudah bilang,
“nggak beli, Pak!”
Entah karena masih ada yang beli, atau karena memang
menunggu anakku. Mau ngintip jendela juga susah, karena tuh jendela, harus
melewati pintu yang tengah dibuka Maza.
Dengan emosi yang tertahan, aku bilang
“Sini mangkuknya, Maza main lagi !” Ia tetap bersikeras ingin membeli. Ia
jatuhkan badannya dilantai, juga mangkuknya, menendang-nendang kakinya, menangis
sekeras-kerasnya, tau deh, satu RT denger kali.
Malu ? pastinya! Kesannya kok
bubur cuma dua ribu perak saja pelit banget...
Bukan apa-apa, selain dia sudah kenyang, aku pun tidak mau
membiasakannya ikut-ikutan temannya untuk membeli ini, itu, karena perilaku
seperti itu, bisa semakin menggila bila usianya semakin bertambah kalau tidak
dilatih sejak kecil.
Jadi, aku harus mulai untuk tegas, pada hal-hal yang
memang harus diatur, seperti jajan orang lewat. Bolehlah kalau memang ia belum
makan, atau ketika makanan di rumah sudah habis. Walaupun ia menangis
sekecang-kencangnya dengan sangat menyayat, apa boleh buat, dengan tega hati
dan rasa teriris-iris mendengar rintihannya, aku harus bisa menolak! Sambil
tetap menangis, mangkuk itu diberikan padaku, tinggal Maza yang harus masuk.
Gimana ya
caranya ? mana aku nguber sholat segala, fikirku. Pukul empat lewat lima belas menit, keburu kesorean kalau begini.
Kuambil jalan pintas.
“Maza, ayo
masuk, bunda hitung ya, kalau nggak bunda tutup pintu nya ! Satu !” belum ada
respon, malah makin keras tangisnya.
“Dua !” kuseru
lagi ia bak tentara yang sedang dikejar tugas.
Mau hitungan ketiga, ia mulai
beranjak masuk, dengan tangisan yang masih membuat hati teriris. Maza masuk,
pintu pun segera kututup. Terserah kalau mau
nangis mah, yang penting sudah masuk.
Aku sempat bilang
“Maza ko nggak nurut bunda, ya ? Tadi sebelum main janjinya apa ? Maza kan sudah kenyang !
bla, bla, bla” aku tinggalkan untuk segera sholat.
15 menit terlewati untuk
membujuknya masuk. Tau nggak ? sholatku nggak khusuk, karena ia masih menangis
di jendela menghadap keluar, sambil mengucapkan satu kata sandinya ketika
sedang bermasalah denganku, “Ayah…….!”.
Aku selesai sholat pun belum juga
berakhir tangisnya. Kupanggil ia, masih dalam kondisi terisak, aku cari cara
buat menenangkannya. Aku juga paham karakater Maza. Kalau kita mencoba untuk
longgar sedikit, tangisnya akan semakin menjadi.
Jadi, aku kasih kata ajaib
yang bisa membuatnya segera terdiam “Maza mau disayang bunda nggak ?”tanyaku.
Dia
mengangguk sambil terus menangis. “Kalau mau, diem ! berhenti nagisnya. Kalau
nggak berhenti, bunda nggak sayang sama
Maza”.
Sekali, belum ada respon, sampai perkataan kedua, baru ia mulai
memberhentikan tangisnya, meski masih sesunggukan. Ketika sesunggukan, aku
jelaskan tentang peristiwa kenapa aku tidak membolehkannya beli bubur sekaligus
kesalahannya karena tidak menuruti apa yang aku katakan. Aku diamkan ia beberapa saat, sebagai bukti bahwa ia berada
dalam posisi salah, dan aku tidak menyukai apa yang dilakukannya.
10 menit,
setelah tangisnya reda, ia mulai menyolek-nyolek aku dan ikut rebahan
disampingku hanya saja menghadap arah yang berlawanan denganku. Jual mahal
dikit boleh dong ? hehe.
Colekan keduanya, sambil menelungkupkn badannya diatas
pinggangku, aku tepis dengan tanganku, sambil bilang “Maza belum minta maaf kok
kalau salah, bunda nggak sayang kalau Maza kaya gitu”.
Ia pasang muka innocent,
wes, itu tuh senjatanya. Aku balikan badan lagi. Kembali ia menelungkupkan badannya,
kali ini di kakiku.
“Ayo, maza mau minta maaf nggak kalau salah ? “ kataku
lagi. Ia pun memberikan tangan kanannya pada ku untuk bersalaman. Aku juga menyambutnya
dengan tangan kananku.
Ketika episode bersalaman itu, aku tanya, “Maza minta
maaaf untuk apa ?”.
“Aku nggak nurut
bunda !”katanya sambil menahan senyum.
“Terus ?” kataku lagi.
“Aku udah kenyang, nggak usah beli bubur “
jawabnya lagi dengan gaya manja.
Aku memberikan
tangan untuk dicium olehnya, dan aku pun juga meminta maaf padanya, sambil
menciumi seluruh wajahnya. Ia pun
membalas menciumiku. Huf, selasai sudah perkara sama Maza. Walau malu
sama tetangga, tapi apa dikata. Disiplin harus tetap ditegakkan, walau berat
perjuangannya. Selain menaklukan Maza yang memang agak keras kemauannya, juga
menahan malu pada tetangga karena tangisan Maza yang cukup membahana.
Ya Rabb.
Semoga Kau mudahkan aku dama mendidik anakku, aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Yang copas tulisan di blog saya, mohon sertakan link ya....thx...