Seri Ramadhan 1433 H
Salah satu ritual rutin yang saya
sering lakukan sebelum tidur adalah merenung, terlebih di bulan Ramadhan,
peningkatan perenungan saya akan lebih intens dari bulan-bulan lainnya. Saya
teringat tentang kejadian yang saya lalui saat buka bersama dengan teman-teman kemarin ( 2
agustus 2012 ). Ceritanya, kami, berjumlah lebih dari 20 orang sudah sepakat
untuk buka bersama di salah satu restoran yang terbilang baru, dan, katanya
harganya juga asyik dikantong, alias, nggak mahal. Sekitar H-1 salah seorang
teman saya booking tempat, sekitar tujuh meja. Ia pun berinisiatif mengambil
menu ikan nila bakar, disertai konco-konconya, seperti, kangkung, sambal semut
rangrang ( pedas banget soalnya :D ), lalapan, tempe goreng, dan tambahannya,
ikan wader ditepungin. Tepat di hari H, kami semua berkumpul. Sebenarnya sih,
teman saya hanya berjumlah lima orang, tapi, berhubung momen spesial ramdhan
kali ini bertema keluarga, jadi, seluruh anggota keluarga juga diajak ikut
serta, yaitu, suami dan anak-anak. Hm, kalau anak saya sih masih satu, tapi,
kalau teman yang lain, jumlah anaknya sudah dua, tiga, dan empat. Kebayang deh
ramenya.
Singkat cerita, ketika makanan sudah
tersaji dengan lengkap di depan mata, yang paling menarik minat saya, bukanlah
ikan bakar kecap dengan warna yang asli coklat menggoda itu. Namun, justru saya
tertarik dengan ikan wader mungil yang digoreng tepung, terasa sekali kalau
tangan saya sudah gatal ingin menjawil, memegang dan melahap ikan yang kelihatannya
renyah itu. Adzan maghrib berkumandang, saya berbuka dengan air jeruk hangat,
dan segera saja, kegatalan tangan saya itu langsung terealisasi, hehe.
“ Kresss…! ” Wow ! Gigitan pertama saya saat itu begitu lincah,
selanjutnya sudah bisa ditebak dong ? :D Ternyata benar, tampilan ikan yang menggoda
itu sangat sesuai dengan rasanya yang gurih, renyah, kriuk, dan, ah, passs…
deh. Dan satu lagi, tidak ada rasa pahit sedikit pun dalam cita rasa wader
tepung tersebut. Saya menikmatinya, tanpa nasi. Rasanya, ingin sekali saya
habiskan wader tersebut, tapi, Alhamdulillah, saya masih ingat teman-teman lain
yang belum kebagian, hehe…
Selesai acara tersebut, seperti
biasa, saya selalu menyempatkan diri mengomentari rasa menu makanan apapun pada
suami saya, begini dan begitunya. Suami saya hanya mengangguk, tersenyum, khas
yang selalu dia tunjukkan saat mendengar istrinya mulai ngoceh masalah makanan
:D
Salah satu hal yang saya sampaikan
adalah tentang perbandingan rasa wader tepung yang berbeda dari beberapa tempat
yang pernah saya kunjungi. Ditempat sebelumnya, sering kali saya temui
kerenyahan wader yang masih diiringi dengan rasa pahit, yang saya sendiri tidak
tahu berasal dari mana. Yang jelas, bukan lidah saya yang sedang bermasalah ya…
!
Berangkat dari hal tersebut, saya
menganalisa bahwa perbedaan cita rasa
tersebut terletak dari bagaimana proses pengolahan wader sehingga menjadi
sajian yang maknyus, dan ngangeni di lidah. Secara kasat mata, dari segi
fisik bangunan restoran tempat wader-wader tersebut diolah memang berbeda. Wader-wader
agak pahit sebelumnya, saya temukan di rumah makan kecil. Sedang, untuk kali
itu, rumah makan yang saya kunjungi lumayan besar, dan strategis, berada tepat
di depan jalan raya. Jadi, kemungkinan besar, koki yang mengolah wader tersebut
juga lebih professional, lebih tahu ilmu tentang per’wader’an (halah….), bahkan
‘mungkin’ lebih mahal bayarannya, jadi cita rasa yang dihasilkan, pasti
berbeda.
Lalu, saya analogikan pengolahan
wader ini dengan proses pendidikan anak. Pengolahan wader yang professional,
akan sangat berpengaruh pada cita rasa. Begitu juga jika mendidik anak
dilakukan secara professional, dengan terus belajar ilmu parenting, terus
bereksperimen dan langsung ‘action’ setiap dapat ilmu yang didapatkan, insya
Allah, kualitas generasi penerus yang dihasilkan juga akan berbeda, tidak bercita
rasa seadanya. Dan, memiliki keunggulan-keunggulan yang akan membawa generasi
penerus tersebut sanggup menantang masa depan.
Ketika orangtua benar-benar
mengusahakan yang terbaik untuk buah hatinya, baik dari segi waktu, perhatian,
kasih sayang, stimulasi, nutrisi ( kalau ini bisa menyangkut materi), bisa
dipastikan proses yang demikian panjang dalam mendidik buah hati akan berakhir
manis dan menyenangkan. Namun, bila yang
dilakukan orang tuanya hanya proses seadanya, dengan sisa waktu, sisa tenaga,
dan sisa-sisa lainnya, maka hasil yang didapat pun juga akan seadanya. Seperti rasa
wader yang masih agak pahit.
Memang, saya bukanlah orangtua yang
sempurna, yang sanggup mengawasi anak saya 24 jam tanpa henti, yang bisa selalu
hadir ketika anak saya kesulitan di luar sana. Tapi, setidaknya, dengan segala
perenungan saya tentang hasil akhir sebuah wader dengan masalah pendidikan
anak, bisa dijadikan acuan, pengingat, bahwa, tugas belajar saya masih banyak,
anak saya masih balita, masih banyak waktu yang dibutuhkan untuk mengantarkannya
menjadi manusia yang bermartabat dan bermanfaat. Karenanya, saya akan berusaha
untuk terus belajar menjadi seorang ibu yang lebih berkualitas, dengan
menyaring banyak ilmu dari sumber-sumber terpercaya.
Mengutip ayat Al Qur’an surat An-nisa ayat 9:
“Dan hendaklah takut kepada Allah (cemas) orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir (terhadap kesejahteraan mereka). Oleh karena itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
“Dan hendaklah takut kepada Allah (cemas) orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir (terhadap kesejahteraan mereka). Oleh karena itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
Renungan terdalam buat saya pribadi adalah, menyiapkan generasi
yang tangguh tidak semudah teorinya, namun, diperlukan proses panjang untuk
selalu belajar dan belajar.
“Menuntut ilmu itu wajib hukumnya bagi setiap muslim.”
(HR. Ibu Majah& Ibnu Abdil Barr)
Dan, alhamdulillah, anak saya bukan
wader yang bisa diolah sesuka hati, jadi apapun, bagaimana pun rasanya, yang
penting masuk perut. Namun, anak saya adalah amanah yang harus dengan penuh
kehati-hatian dalam mendidiknya, mengingat akan sebuah pertanggungjawaban
dihadapan Allah SWT kelak. So, ayo terus
belajar, jangan pernah lelah, hingga ajal datang menghampiri kita. Allah terus
menilai usaha kita, bukan hasilnya. Namun, bila ternyata dari proses tersebut
mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan, bukankah itu kebahagiaan yang
sangat besar ?
Wallahu a’lam
Postingan ini dalam rangka Lomba Blog Pojok Pulsa:
Pojok Pulsa – Pulsa Elektrik - Pulsa Murah - Voucher Game Online.
Mau Pulsa Gratis? Follow: @pojoktweet | Facebook Page Pojok Pulsa | Pojok Pulsa Google Plus Page
TULISAN INI TERPILIH SEBAGAI PEMENANG HIBURAN DI LOMBA BLOG POJOK PULSA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Yang copas tulisan di blog saya, mohon sertakan link ya....thx...