Begitu juga aku, aku begitu takjub dengan gambaran Ramadhan yang tak pernah henti diperbincangkan para ustadz, kyai bahkan pelawak sekalipun. Kalau ramadhan itu bulan berkah, ampunan dan bulan terlipat gandanya seluruh amal kebaikan. Namun, entah dengan ramadhan kali ini. Aku merasa terlempar dalam pulau tak berpenghuni. Aku merasa terkucil dengan ketidakberdayaan ku menyambut Ramadhan.
Ramadhan dengan tangan kosong, dompet kosong, juga ATM kosong. Padahal, segala rencana telah aku susun dengan sebaik-baiknya. Aku ingin lebih khusyuk beribadah sholat, puasa, baca Al Qur’an, tanpa memikirkan isi dompet. Aku bisa leluasa berbagi tanpa perlu melihat kering kerontangnya ladang ATM ku. Ah, sedih sekali, pilu. Apalagi kalau aku mengingat-ingat akan amalan bulan ramadhan yang dilipat gandakan, pasti aku akan semakin tersungkur, pingsan malah membandingkan diriku dengan kedermawanan oranglain memanfaatkan keistimewaan Ramadhan.
Disisi lain, aku ingin kelak malaikat pencatat bersaksi akan kisah Ramadhan ku dengan hal-hal menyenangkan, seperti, seberapa kuatnya aku berikhtiar menjalani ibadah, seberapa banyak materi yang kukeluarkan untuk menyantuni anak yatim dan fakir miskin, dan seberapa persen kadar keikhlasanku menjalani semuanya. Tapi, apa daya, kebutuhan yang kian menggunung, ditambah lagi tanggungan dua orang adik yang masih sekolah, membuat ku tak bisa berkutik mengharapkan dana ekstra untuk berfoya-foya dalam berbagi. Kalaupun ingin mengeluarkan dana, masih perlu aku berfikir ulang akan makan apa aku hari ini. Ah, biarlah ramadhan ku kali ini terlewati dengan materi yang sedikit.
Mungkin, Allah punya cara lain untuk membuat Ramadhan ku semakin berwarna, tidak melulu bahagia, namun juga ada kalanya sedih. Biar aku semakin merasakan bagaimana sih rasanya jadi orang tidak berpunya, boro-boro untuk membeli pakaian baru, bahkan untuk makan pun masih kesulitan. Masih bersyukur, walau berkantung kempis untuk sedekah, aku masih bisa menikmati makan layak dengan sayur dan lauk. Bukankah disana masih banyak yang lebih kesulitan daripada yang aku rasakan ?
Dan bukankah Ramadhan itu memang sebuah penjajakan untuk lebih sensitif terhadap orang-orang yang kelaparan, kesusahan. Kalau bukan dengan cara seperti ini, mungkin tak ada lagi celah yang menjadikan aku semakin memahami arti “si kaya dan si miskin”.
Ya, walau semua begitu menyiksa hati ku, yang terlalu fokus pada ketidak berdayaan ku saat ini, tapi aku tetap berusaha mengambil sisi positif dari peristiwa yang sengaja Allah turunkan buat ku. Agar aku lebih arif, lebih pandai bersyukur ketika susah dan lapang, dan lebih menjiwai makna berbagi.
Benar kata hadits yang mengatakan bahwa kemiskinan itu sangat dekat dengan kekufuran (tidak bersyukur). Karena, aku merasakan sekali, ditengah kedahagaan menahan haus dan lapar ini, aku masih harus memikirkan apa yang bisa aku bagi pada saudara ku yang lain, yang kurang beruntung. Aku merasa tak punya apa-apa yang bisa dibagi, dan disitulah letak ketidak bersyukuran (kekufuran) orang-orang tak berpunya, padahal masih banyak nikmat Allah lain yang wajib disyukuri. Masih diberi nikmat mata untuk melihat yang indah, nikmat hidung untuk bernafas, telinga untuk mendengar, dan semua nikmat itu harus aku syukuri dan semakin memotivasi aku untuk berusaha lebih giat lagi dalam hal kebaikan. “Maka nikmat Tuhan mu yang mana- kah yang kamu dustakan ?”(QS. Ar-rahman :13).
Ya Allah, karuniakan kesabaran padaku, dan mudahkanlah aku meraih keridhoan Mu dalam keterbatasan harta ku saat ini. Dan, aku berharap masalah kantong tipis ini berakhir sebelum ramadhan usai, agar aku bisa bersedekah sebanyak yang aku rencanakan, dan bisa beribadah dengan khusyuk tanpa berfikir kehabisan materi.
Note : tulisan ini kisah bukan kisah pribadi dan pernah diikutkan dalam sebuah audisi antologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Yang copas tulisan di blog saya, mohon sertakan link ya....thx...