Ma'rifatul Insan
- Definisi Manusia
Sebagai khalifah dimuka bumi ini, manusia diberikan banyak keistimewaan dari sisi penciptaannya. Dilihat dari asalnya, manusia tersusun dari unsur bumi dan unsur langit. Unsur bumi, karena manusia berasal dari tanah. Unsur langit karena fisiknya sempurna, dan Allah meniupkan ruh kepadanya. Dari unsur tersebut, berdasarkan fungsinya, manusia disimbolkan dengan tiga unsur utama, yaitu hati (Tekad: qs. 3:159; 17:36; 18,29; 90.10), akal (Ilmu: 17, 36; 67:10) dan jasad ( amal: 9:105).dari ketiga unsur tersebut manusia diberikan amanah (qs. 33:72; 2:30) untuk mengemban misi dirinya dilahirkan kedunia ini, yaitu, untuk beribadah dan menjadi khalifah. Dari amanah yang dijalankan sesuai dengan fungsinya tersebut, manusia akan diberi balasan setimpal dari Allah (qs. 84:25; 16:97; 98:7-8)
- Hakikat manusia
Siapapun dia dan ada pada kedudukan apapun manusia, tetap harus mengetahui tentang hakekat dirinya. Agar bisa berlaku aadil terhadap dirinya, penciptanya, sesamanya, dan makhluk lain yg Allah ciptakan. Hakekat manusia yang harus dipahami adalah sebagai :
- Makhluk (makhluqun) : fithrah QS 30:30, lemah (dha’ifun) QS 4:28, bodoh (jahilun) QS 33:72, bergantung kepada pihak lain (faqirun) QS 35:15
- Dimuliakan (mukarramun): tiupan ruh dari Allah Swt (nafkhur-ruh) (QS 32:9). Allah juga memberinya keistimewaan QS 17:70, di antaranya adalah akal. Alam semesta ditundukkan Allah untuk manusia QS 45:12, QS 2:29, QS 67:15
- Mengemban tugas (mukallafun) : ibadah QS 51:56 dan khilafah QS 2:30
- Berhak memilih (mukhayyarun) (QS 90:10, QS 76:3, QS 64:2, QS 18:29). beriman kepada Allah atau justru kafir kepada-Nya.
- Mendapat imbalan (majziyun). surga untuk yang beriman (QS 102:8, QS 32:19, QS 2:25, QS 22:14) atau siksa neraka bagi yang kafir (QS 17:36, QS 53:38-41, QS 32:20, QS 2:24)
- Potensi Manusia
Manusia memiliki potensi diri (thaqatul insan) yang sangat besar (QS 67:23, QS 32:9, QS 16:78, QS 7:179, QS 22:46). Potensi itu terletak pada pendengaran (as-sam’u), penglihatan (al-basharu) dan hatinya (al- fuadu). Dengan ketiga potensi itu, ia dapat melakukan hal-hal besar yang tidak dapat dilakukan oleh makhluk lain yang tampak maupun tidak (ghaib). Potensi-potensi besar itu adalah amanah yang harus ia jaga dengan penuh tanggung jawab (al-masuliyah) (QS 2:21, QS 51:56). Jika manusia bertanggung jawab penuh terhadap potensinya, berarti ia amanah (al-amanah) (QS 33:72, QS 24:55, QS 48:29). Dengan amanah itulah ia mampu memerankan tugas khilafah di bumi. Sebagai khalifah ia harus memperhatikan prinsip :
- Tidak memiliki kekuasaan hakiki (‘adamu haqiqatul mulkiyah). Karena pemilik dan penguasa yang hakiki adalah Allah, Sang Pencipta alam semesta. Manusia hanya mendapat amanah mengelolanya (QS 35:13, QS 40:53).
- Bertindak sesuai kehendak yang mewakilkan (at-tasharrufu hasba iradatil mustakhlif). Sebagai khalifah (wakil) Allah di bumi, maka ia harus bertindak sesuai kehendak pihak yang mewakilkan kepadanya yaitu Allah (QS 76:30, QS 28:68).
- Tidak melampaui batas (‘adamul ta’addil hudud). Dalam menjalankan tugasnya, manusia tidak boleh melanggar batas-batas yang telah ditetapkan Allah dalam syariat-Nya (QS 100:6-11)
Jika manusia tidak bertanggung jawab terhadap potensi pada dirinya, berarti ia telah berkhianat (al-khiyanah), berkhianat kepada Sang Pemberi potensi. Wujud pengkhianatan tersebut diibaratkan dalam Alqur’an yaitu : seperti hewan ternak (qs.7:179; 25:43-44), seperti anjing (7:176), seperti monyet(5:60), kayu (63:4), babi (5:60), batu (2:74), laba-laba(29:41), keledai (62:5)
- Jiwa Manusia
Jiwa manusia diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, yaitu :
- Ruh diatas nafsu (qs.29:45; 3:191; 13:28; 89:27-30) yang lebih berorientasi pada dzikir sehingga akan menghasilkan kenikmatan tertinggi yaitu ketenangan jiwa.
- Ruh tarik menarik dengan hawa nafsu (qs.4:137; 4:143; 2:9; 75:2) yang berorientasi pada akal, berjalan seimbang sehingga lebih mendahulukan logika ketika akan melakukan amal sholih dan maksiat. Terkadang ada penyesalan dari setiap keputusan yang diambil.
- Ruh dibawah hawa nafsu (qs.25:43; 45:23; 3:14; 12:53). Kondisi jiwa seperti ini berorientasi pada syahwat, yang selalu mengarah pada perbuatan maksiat.
- Sifat Manusia
Sudah menjadi kodratnya manusia diciptakan dalam potensi yang saling bersebrangan didalam jiwanya, yaitu fujur(qs.103:1-3) dan takwa (qs.91:9; 87:14-15; 62:4). Dari sifat manusia yang telah dianugrahkan Allah tersebut, manusia diberikan pilihan untuk selalu mentaati Allah atau justru maksiat pada Allah. Mentaati perintah Allah dengan selalu melakukan Tazkiyatun Nafs / membersihkan diri (qs.91:9; 87:14-15; 62:4), yang akan melahirkan sifat-sifat syukur, sabar, penyantun, penyayang, penyabar, suka taubat, lemah lembut, jujur, terpercaya. Orang yang selalu menyucikan dirinya itu adalah orang yang sukses.
Orang yang cerdas adalah orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya dan beramal untuk hari sesudah mati (HR.muslim)
Sedangkan yang sebaliknya adalah Tadsiyatun Nafs, jiwa yang dibiarkan tazkiyah, akan melahirkan sifat yang buruk, yaitu : tergesa-gesa, keluh kesah, lalai, melampaui batas, pelit, ingkar, sulit, pembantah, aniaya, bodoh. Dan manusia yang memiliki sifat seperti ituadalah manusia-manusia yang merugi.
Orang yang lemah adalah orang yang memeperturutkan diri pada hawa nafsunya dan hanya berangan-angan terhadap Allah(HR.Muslim).
- Hakikat Ibadah
Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat : 56).
Syaikhul Islam mengatakan, “Ibadah adalah melakukan ketaatan kepada Allah yaitu dengan melaksanakan perintah Allah yang disampaikan melalui lisan para rasul.” Beliau juga menjelaskan, “Ibadah adalah istilah yang meliputi segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, berupa ucapan maupun perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi.”
Al-’Imad Ibnu Katsir mengatakan, “Makna beribadah kepada-Nya yaitu menaati-Nya dengan cara melakukan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang. Itulah hakikat ajaran agama Islam. Sebab makna Islam adalah menyerahkan diri kepada Allah ta’ala yang mengandung puncak ketundukan, perendahan diri, dan kepatuhan.” Selesai ucapan Ibnu Katsir.
Dapat disimpulkan bahwa :
Pertama; Ibadah adalah tujuan hidup kita
Kedua; Hakikat ibadah itu adalah melaksanakan apa yang Allah cintai dan ridhai dengan penuh ketundukan dan perendahan diri kepada Allah
Ketiga; Ibadah akan terwujud dengan cara melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya.
Dari ketiga hal tersebut, diharapkan ibadah yang dilakukan seorang mukmin adalah keseimbangan antara pengaharapan (roja’) dan ketakutan (khouf)Qs.7:55-56; 9:13; 33:39; 2:41; 21:90; 94:8.