SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA, UNTAIAN SEDERHANA NAMUN SARAT MAKNA

Sabtu, 12 Januari 2013

Gosip Anak, gosip Orang tua



Masalah gosip adalah masalah bersama. Baik itu pergaulan antara individu, juga pergaulan dengan lingkungan dimana pun kita berada. Dan, perlu diketahui, secara langsung atau pun tidak, masalah gosip ini juga termasuk penyakit bawaan dari lingkungan terdekat. Jadi, bila seseorang dididik dengan lingkungan yang tidak terbiasa dengan gosip, maka setelah besar pun, anak akan bisa menghindari problema ini, meski, mungkin tidak sepenuhnya. Jadi, memulai untuk mendidik anak sejak kecil anak  dengan atau tanpa gosip, itu murni pilihan orang tua.

Tulisan ini sendiri juga bukan berniat untuk mengajak siapa pun bergosip, ya. Tidak ingin menceritakan siapa pun. Justru saya hanya ingin berbagi perihal gosip menggosip ini. Apa yang saya deskripsikan, dan bagaimana logat saya bercerita  pada buah hati saya, asli, itu turunan juga dari saya. Ngaku itu tidak mudah, kawan, dan ini akan menjadi introspeksi buat diri saya sendiri.


Ceritanya, kemarin siang, ketika anak saya satu-satunya sedang libur sekolah. Ia saya ajak ke tempat bekam. Badan saya terasa capek sekali, dan merasa mulai ‘berat’, akhirnya hari itu secara mendadak saya memutuskan untuk berbekam. Sepulangnya dari sana, kami mampir ke sebuah warung kecil, hanya untuk membeli lauk makan siang. Saya turun dari motor, menghampiri penjualnya untuk memesan lauk dengan bumbu pedas (info nggak penting :D).

Selagi si penjual membungkus baru 1 kantong lele bumbu rujak pesanan saya, datang dua orang muda-mudi, laki-laki dan perempuan. Gambarannya, si perempuan itu tampak seksi meski dengan standar wajah yang biasa-biasa saja, memakai dress bermotif bunga yang panjangnya setengah paha, dengan ikat pinggang besar mengalungi pinggangnya yang ramping, dan kerah yang begitu lebar bukaannya, baik depan juga belakang (hayooo, ngebayangin, ya :D) Tidak ketingggalan pula, headset di telinganya terpasang, tangan kirinya memegang HP. Si perempuan turun, lalu  menghampiri  mba penjual, sementara laki-lakinya, yang mengendarai motor tiger menunggu di depan warung. 

Pesanan saya sudah terbungkus semua, sambil menunggu saya mengambil uang di dompet, mba penjualnya melayani perempuan seksi tersebut. Saya  menaruh uang di meja warung, dan seketika itu mata saya mencuri pandang lagi ke arah perempuan tadi. Dengan headset yang terus terpasang di telinganya, ia memesan makanan sambil sesekali menggoyangkan badannya dengan manja, juga, memainkan suara, dan gerakan mulutnya dengan tingkat eksotis yang tinggi. Saya tengok ke arah pemudanya berada, saya paham, laki-laki pasangannya berada tidak jauh dari gerobak tempat lauk-pauk tersimpan, sekitar setengah meter, jadi, secara tidak langsung, si laki-laki tersebut memerhatikan gerak gerik perempuan seksi itu. Dan, sepertinya perempuan tersebut menikmati setiap gerakannya dalam bayang-bayang pandangan lelaki itu. 

Setelah perempuan tadi selesai memesan, ia kembali ke motor besar pasangannya, menggelayut manja di belakangnya. Kemudian pergi. Memang, saya tidak benar-benar memeloti tingkah mereka. Sesekali saja saya melihat, namun, dalam satu gerakan penglihatan yang jelas terhadap objek, ada banyak gerakan mata saya yang tersembunyi, hehe. 

Setelah itu, mba penjual memberikan kembaliannya, dari pada tanggung, tinggal dua ribu rupiah, langsung saja saya habiskan untuk membeli lauk yang lain. Dan , setelah itu saya pulang.

Di perjalanan, selama di motor, saya berbincang dengan suami. Saat itu, posisi Maza, anak saya berada di tengah, pasti dia sangat jelas mendengar percakapan kami. Saya menjelaskan bagaimana saya bertemu perempuan yang ternyata suami saya juga melihatnya sekilas. Saya deskripsikan bagaimana gerak gerik tubuhnya, bagaimana cara dia berpakaian dan berbicara, lumayan detil penjelasannya. Selama penceritaan tersebut, anak saya diam saja, tidak berkomentar.

Malamnya, ketika teman bermain anak saya main ke rumah, saya tinggalkan mereka berdua di ruang TV dalam kondisi TV mati, ditemani dengan tumpukan buku bacaan, krayon, buku bergambar, dan permainan lainnya. Saya pergi ke kamar yang letaknya di sebelah ruang TV, berbincang dengan suami yang sedang istirahat. Dalam perbincangan ringan kami, ketika ada jeda kami terdiam, saya mendengar dengan sangat jelas perbincangan khas anak-anak antara anak saya dan temannya, seperti ini, 

“ Eh, Dina (bukan nama sebenarnya), masa tadi siang, pas aku sama bunda beli sayur, masa aku ketemu orang aneh…banget ! Udah besar, pake baju pendek, segini, segini (kedengarannya sambil memeragakan), nggak pake jilbab, bawa hape, sambil pake yang di telinga itu, loh ! Terus goyang, goyang. Jelek banget, deh !” kata anak saya yang masih berumur kurang dari 5 tahun (kosa kata yang dikuasainya memang lebih banyak dari anak seusianya ).

“ Masa, sih, Za ? Terus, piye ?” kata temannya pingin tahu.

“ Ya, gitu, goyang-goyang, kok, nggak malu, ya ? bla bla bla” kata Maza lagi, sok tahu.

Saya dan suami terhenyak, meski pun sempat terkikik juga. Kami, sambil bercanda, saling menuding, “ Tuh, anakmu tuh ! ”

Meski pun dalam kondisi candaan, saya mampu merenungi semua yang terjadi hari ini, dengan peristiwa yang ternyata akan berbekas dalam hati anak saya yang masih balita.

Yap, peristiwa adegan gosip yang dilakukan anak-anak setelah menyaksikan sinetron gosip yang di dalangi oleh kedua orang tuanya di siang hari. Anak memang diam, tanpa komentar, tapi, mereka mengamati, menyimpan, dan akhirnya membukanya jika waktu memungkinkan. Dan, ia membukanya dengan teman sepermainannya.

Saya membayangkan, bagaimana jika gosip yang kami lakukan, (meski memang, bisa dibilang wajar bila membicarakan hal yang terlalu vulgar seperti tontonan visual siang itu) terus mengerat dan bersemayam dalam memori otak anak saya, bahkan hingga ke alam bawah sadarnya. Mengajarkan padanya secara tidak langsung, bahwa bergosip itu lumrah, sudah umum, dst, dsb. Saya berfikir lebih dalam, bahwa ekspresif itu harus ada batasnya. Harus mampu menempatkan diri, di mana dan bagaimana reaksi itu kita sampaikan. 

Hasil dari sikap ekspresif saya adalah saya menyampaikannya di depan anak, dan ia mengikutinya dengan lancar. Jujur, saya kaget karena ia bisa menyalin dengan detil apa-apa yang saya ceritakan pada suami. Kejadian siang, baru bisa ia salurkan di malam hari. Dan, ada penambahan lainnya, yang berkaitan dengan jilbab tadi. Saya tidak mengutarakan bahwa si perempuan tersebut harus memakai jilbab, namun anak saya justru mengutarakannya sendiri, berdasarkan aturan yang sudah kami sepakati bersama. Berjilbab jika keluar rumah, apalagi jika sudah dewasa, dan itu terekam jelas dalam memori bocah empat  tahun sembilan bulan.

Masalah jilbab adalah masalah baik. Namun, masalah gosip, ini lah yang tidak baik. Judulnya gosip itu selalu ada tambahan bumbu biar menarik. Alhamdulillahnya, untuk saat ini bumbu yang disampaikan Maza adalah bumbu yang baik. Entah kalau lain kali. Masalah bergosip adalah masalah bersama antara saya dan suami, masalah yang harus kami minimalisir. Masalah masa depan, akan dibawa ke mana anak kami kelak. Kami berhak untuk bergosip, tapi, kami harus siap konsekuensi bahwa bergosip itu bisa membawa keluarga ke neraka, ibarat memakan daging bangkai saudaranya, apakah saya siap ?  

Belajar mengurangi, menahan diri untuk tidak membicarakan orang lain, baik itu orang aneh sekali pun, di depan anak-anak itu adalah langkah konkrit untuk mencetak generasi masa depan yang berkualitas . Agar fitrah mereka terjaga, bersih dari hal-hal buruk, seperti gosip tadi. Semoga Allah mengampuni saya, menyadarkan saya dalam kekhilafan manusia, dan menjadikan saya dan suami orang tua teladan, yang mengajarkan banyak kebaikan, aamiin.

Anak-anak ibarat kertas kosong, yang siap diisi dengan apa saja, tulisan tangan yang bagus dengan kualitas isi yang berbobot, gambar yang menawan, atau justru diisi dengan tulisan tangan yang buruk, isi yang menyesatkan, dan gambar yang sekedar corat-coret.

Tulisan tangan divisualisasikan akan harapan, masa depan anak, mimpi kita pada anak, akan menjadi seperti apa mereka, baik atau buruk, kita yang menulisnya.

Kualitas isi adalah cara menjadikan anak kita seperti mimpi kita dengan model pendidikan seperti apa, apakah hanya sekedar menyekolahkan di tempat terbaik atau ikut terjun langsung dalam mendidik mereka.

Gambar yang menawan adalah pandangan mereka terhadap teladan orang tua, mampu kah orang tua memberikan keteladanan yang baik atau  justru yang buruk. Gambar mewakili perasaan mereka menerjemahkan  makna setiap tindakan orang tua. Kalau hanya sekedar coretan, siapa saja bisa mencoretnya, tetapi, orang tua yang baik, tidak mungkin mau hanya sekedar berisi gambar coretan saja.

Nah, mana yang mau dipilih ? Silahkan saja direnungi. Semoga bermanfaat untuk yang membacanya, terlebih buat saya pribadi.

Wallahu a’lam                                   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Yang copas tulisan di blog saya, mohon sertakan link ya....thx...