SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA, UNTAIAN SEDERHANA NAMUN SARAT MAKNA

Rabu, 17 Oktober 2012

Latihan Disiplin Untuk Maza


Melatih kedisiplinan untuk anak balita butuh konsistensi yang maksimal, tidak main-main. Beberapa kali saya dihadapkan pada situasi yang tidak mudah menghadapi balita saya. Ketidakmudahannya terletak pada, tidak tahannya saya mendengar tangisannya (balita usia 4, 5 tahun).

Saya sudah menerapkan aturan jauh-jauh hari tentang suatu hal, dalam kasus ini adalah masalah BAK (buang air kecil) dan BAB (buang air besar) yang tidak pada tempatnya, yaitu di celana. Bukan, bukan karena kami sedang bepergian atau sedang di jalan, dan tidak mendapati tempat untuk membuang hajat tersebut. Namun, lebih karena ia malas pulang saat sedang bermain. Jadi, ia lebih memilih membuangnya langsung di celana, yang tentu sangat mengganggu aktifitas dirinya bermain dan juga, aktifitas saya (tambah banyak kerjaan boo!). Mungkin, jika ia belum terbiasa melakukan itu ( buang hajat sembarangan), itu bukan masalah untuk saya. Tapi, karena hal tersebut sudah terbiasa pada tempatnya, nah, itulah yang jadi masalah buat saya.

Ceritanya, menjelang maghrib Maza minta main. Saya izinkan, asal, saat adzan maghrib dia masih tetap di rumah, solat maghrib bersama saya hingga selesai (walau solatnya masih main-main, tapi ini sarana latihan). Peraturan maghrib harus di rumah sudah saya terapkan sejak ia berusia 2 tahunan, saat ia mulai mengerti main bersama temannya. Itu aturan baku, tidak bisa diganggu gugat, dan alhamdulillah, saya dan suami bisa konsisten.

Ia taati aturan itu. Setelah selesai sholat, ia pun harus menunggu ayahnya pulang dari masjid, baru ia boleh keluar untuk main. Biasanya, ia sabar menunggu hingga ayahnya pulang, namun, karena kali ini ayahnya masih ada pekerjaan di kantor, jadi, patokannya adalah bapak tetangga yang ke masjid, apakah mereka sudah pulang atau belum, hehe.

Selama menunggu, ia masih membantu saya melemaskan badan dengan cara diinjak-injaknya bagian punggung. Saya tengkurap dan ia berdiri diatas punggung saya sambil berjalan perlahan. Sekitar lima menit, ia sudah tidak tahan untuk main, langsung berlari, menuju pintu, dan keluarlah ia.

Tidak sampai lima menit, ia berlari pulang ke rumah, tergopoh-gopoh ia minta pup (BAB), dengan tubuh digoyang-goyangkan, seakan sudah tidak bisa menahannya. Ia berusaha melepas celananya sendiri, tapi, karena mungkin sudah tidak bisa ditahan, ia perlu bantuan saya juga. Dan, nyatanya, kotoran itu sudah menjelajahi celana dalamnya, bahkan, (maaf), sudah menjatuhi lantai kamar mandi.

Ah, itu yang saya tidak suka, bukan sekali dua kali ia berlaku seperti itu. Dan, biasanya, saat hal-hal seperti itu terjadi, saya hanya membuat peraturan yang selintas lalu, seperti “ kalau Mba Maza pipis, pup di celana kaya gini, Bunda nggak bolehin main !” cukup, hanya sebuah gertakan, dan ia menolak sambil menangis sedikit, “emoh..!”

Tapi, sepertinya kali ini merupakan titik kulminasi, dimana peraturan itu benar-benar harus ia taati. Jadi, sambil mengomel, saya minta Maza untuk tidak main. Tentu saja ia nangis sekeras mungkin. Mungkin, ia fikir, seperti biasanya, itu hanya gertak sambal, agar saya luluh. Tapi, tidak untuk kali itu, saya harus benar-benar tegas, agar ia bisa belajar mengambil konsekuensi atas pilihannya itu.
Saya katakan “ Bunda bilang, kalau mba Maza pipis atau pup di celana, nggak boleh main. Kalau masih pengin main, terserah ! Tapi, nggak usah pulang”, kata saya dengan tegas.

Ia terus meraung, berusaha menolak. Dan, sebagai ibu, saya juga merasakan kesedihan yang sama. Tidak mengizinkan anak bermain di luar, sering menjadi suatu momok buat saya pribadi sejak anak saya di sekolahkan di sekolah full day. Terus menangis, menghentak-hentakan tubuhnya di lantai, dan atraksi lainnya yang menunjukan protesnya atas peraturan yang saya buat.

“ Sekarang Mba Maza pilih, main di rumah atau main di luar ? Kalau main di luar, nggak usah pulang !”

“ Aku mau main di luar, tapi pulang !” katanya dengan menyayat. Cerdas ! kata saya dalam hati, tapi saya harus kuat.

“ Nggak ada main di luar. Bunda kemarin sudah bilang, kalau pipis atau pup di celana, berarti nggak boleh main di luar. Besok-besok kalau mba Maza kaya gitu lagi, ya nggak boleh main lagi.”

Ia mulai berontak, menangis sejadi-jadinya, dan akhirnya saya membentaknya, ia langsung sesunggukan, berusaha memberhentikan tangisnya.  Saya ikuti gerakan menangisnya.

“ Nih liat, Bunda juga bisa nendang-nendang ! Kalau Mba Maza kaya gitu, Bunda malah marah beneran ! Mau Bunda marah ?” volume saya meninggi, ia pun menggeleng lemah. Di sela-sela itu, ayahnya pulang. Ia menangis lagi dengan semakin keras, mungkin maksudnya mengadukan Bundanya yang tidak mengizinkannya bermain. Tapi, saya sudah tahu, ayahnya pun punya peraturan yang sama, tidak ada main saat ia melakukan hal tersebut. Keras ya ? memang. Saya dan suami tahu, ia sangat suka bermain. Jadi, rasanya pas sekali melakukan punishment tersebut untuk memberhentikan kebiasaan buruk itu.

Sadar tidak ada yang membantu, tangisnya mereda lagi. Volume suara saya juga mulai merendah. Saat isakannya mulai melemah, saya mulai memasukan pesan-pesan mutiara. Perlahan, saya pangku ia, dibelai rambutnya, dan diajak bercakap-cakap. Setelahnya, saya minta ia mengulang pesan yang sebelumnya saya sampaikan.

Ia utarakan sedikit demi sedikit masih sambil terisak, katanya, “ Aku nggak ulangin lagi (pup) di celana lagi, nanti aku nggak boleh main...” bagus ! dalam hati saya tersenyum.

“Maza janji ya ? enak nggak kalau nggak main di luar ?” ia menggelang lemah.

“Besok gitu lagi ?” ia menggeleng lagi.

“ Ya, sini, maafin Bunda ya ? Ini buat mba Maza juga. Bunda cium ya anak pinter...” Ia mengangguk, sambil memberikan ujung dahinya untuk saya cium. Saya berikan ia ciuman dan doa yang banyak dengan suara yang bisa ia dengar. Seketika itu isaknya berhenti, senyumnya merekah, dan ia siap menerima konsekuensi perbuatannya itu dengan lapang dada.

Perasaan saya mengatakan bahwa ia mulai memahami peraturan yang telah ditetapkan dalam kasus seperti ini. Tidak hanya gertak sambal lagi, tapi sudah menuju peraturan baku. Semoga saya, suami dan Maza bisa menerapkannya dengan baik di kemudian hari. Semoga Allah memudahkan segala kebaikan yang harus terus diupayakan dalam mendidik anak kami, walau itu butuh perjuangan keras, aamiin.

*senin, 8 oktober 2012

Lauk Bebek VS Mulut Bebek

“ Wah, mba Sarah makannya sambil jalan-jalan ya ?” sapa seorang tetangga pada ibu yang tengah menyuapi anaknya di sore yang begitu cerah.

“ Iya nih, maunya jalan-jalan aja, sampai capek saya…” Ibu itu sedikit mengeluh, sambil memanggil anaknya untuk disuapkannya nasi dengan lauk yang lumayan enak.

Aku yang kebetulan sedang berada di sana sebelum ibu yang nyuapin anak itu datang ikut tersenyum.

“ Hm, mba Sarah kayanya senang makan bebek ya?” kali kedua ibu itu memerhatikan lauk yang berada di dalam mangkuk yang dibawa Ibu yang mengikuti anaknya untuk makan.

“ Iya, ini senangnya makan bebek…” katanya tertahan, merendah, mengulurkan senyum yang setengah dipaksa. Hm, lauk bebek, tepatnya mungkin kepala bebek beserta lehernya yang panjang.

“ Kalau beli bebek di sana loh bu, murah…bla..bla, bla” pembicaraan itu terus mengalir, hanya dari sebuah kata ‘bebek’. Aku tersenyum untuk kedua kalinya. Mungkin bukan seperti senyuman sapaan ataupun senyuman permakluman, juga bukan seyuman penghinaan. Lebih tepatnya senyuman aneh ketika mendengar jawaban seorang ibu yang terlalu hiperbola menurutku. Bagaimana tidak, aku cukup tahu tentang kondisi Ibu tersebut, tentang seberapa seringnya ia mengonsumsi makanan yang terbilang mewah tersebut, bahkan jumlah uang belanjanya setiap hari, bisa dibilang aku cukup mengetahuinya.

Mungkin ada yang berfikir, aku kurang kerjaan, atau timbul pertanyaan, apakah aku satpam atau mandornya ya, kok sampai tahu sejauh itu tentang kehidupan si Ibu bahkan tahu sedetail mungkin tentang keluarganya ? Sungguh, bukan seperti itu. Aku tidak ingin bahkan berniat mencari tahu informasi secuil apapun tentang diri dan keluarganya. Justru aku tahu tentang kehidupannya melalui cerita-ceritanya yang mengalir bak air bah yang begitu besar. Dari kejadian demi kejadian, aku mampu mengenal karakternya lewat cerita yang sering dia utarakan, walau terkadang hanya cerita ringan.

Ada dua hal yang aku tangkap dalam komunikasi yang dilakukan antara dua tetanggaku,.

Yang pertama, yaitu, kalimat yang terlalu hiperbola dan yang kedua adalah, penghargaan terhadap diri sendiri yang begitu besar. Kalimat yang terlalu hiperbola jelas sangat mengganggu telingaku, karena aku memahami kondisi si Ibu, tentang dan bagaimana ia menegelola keuangan rumah tangga yang bisa dibilang masih di bawah rata-rata. Seakan-akan, kalimat yang dikatakannya tentang makanan apa yang paling sering ia konsumsi, ia menjustifikasi, bahwa, bebek adalah konsumsi favorit keluarganya, minimal seminggu sekali, ia dan keluarga mengonsumsi hewan yang kabarnya cukup menjanjikan untuk lahan bisnis itu. Hiperbola dalam arti bahasa berarti sesuatu kalimat atau perumpamaan yang terlalu berlebihan. Menurut kacamataku, apa yang dikatakan Ibu itu sangatlah berlebihan. Menyebutkan suatu hal yang tidak bisa ia lakukan, tapi seolah-olah menjadi suatu kebiasaan. Dalam hal ini, masalah lauk bebek yang bukan merupakan barang mewah untuk konsumsi keluarganya.

Hal kedua adalah penghargaan terhadap dirinya yang begitu besar. Sebenarnya, itu adalah hal positif yang bisa menumbuhkan percaya diri seseorang karena merasa bahwa dirinya mampu melakukan itu, dalam permasalahan ini adalah, mampu membeli lauk bebek. Kalaupun sekali-kali suaminya sanggup membelikan lauk bebek yang hanya kepalanya saja, namun, bukan berarti penghargaan itu harus terus dilakukan untuk menunjukan betapa mampunya ia membeli bebek. Karena hal tersebutlah, hatiku menjadi gerah, ingin memanfaatkan moment untuk mempertanyakan sejauh mana sih kemampuan ia dan suaminya membeli bebek. Tapi, aku urung. Untuk apa, toh itu hanya akan menjadi masalah. Dan aku sendiri pun tidak tahu atas tujuan apa ibu tetanggaku menanyakan hal remeh seperti itu. Entah untuk berbasa-basi atau memang hanya sekedar nada sindiran karena tidak sekali dua kali tetangga yang memakan lauk bebek tersebut meninggikan kalimat-kalimatnya dengan presentasi yang begitu memikat.

Dari hal tersebut, aku berkaca pada diriku sendiri. Pernahkah aku melakukan sesuatu yang mungkin aku merasa itu bukanlah suatu kesalahan. Namun, belum tentu dalam pandangan oranglain itu adalah suatu hal yang biasa saja. Bisa saja, oranglain merasa eneg atau sebal melihat pembicaraan dan sikap kita berlebih-lebihan, apalagi bila mereka tahu tentang bagaimana keseharian kita.

“ Dan janganlah kamu berlebih-lebihan, karena ia akan berteman dengan syetan di neraka.”

Dengan kejadian ini aku merasa harus lebih introspeksi diri untuk selalu menjaga kondisi hatiku agar tidak menimbulkan konotasi buruk bagi orang lain yang kerap bersinggungan dengan kehidupan sehari-hariku.

Wallahu a’lam

Tips Bisnis Online

Kegalauan saya sejak beberapa hari kemarin, membuat jari-jari saya tergelitik untuk segera menuntaskannya melalui tulisan, yang mungkin bisa melepaskan sedikit beban yang menggelayuti hati.

Bagi sebagian orang mengatakan bahwa bisnis online itu gampang, kecil, dan sedikit resiko. Dan mereka pun mencoba untuk memulainya dengan sedikit pengetahuan akan dunia antah berantah. Hm, saya katakana dunia antah berantah karena, bagi saya bisnis online itu terlalu luas jangkauannya, jadi, boleh lah saya sebut antah berantah, tidak jelas, karena terlalu luasnya itu.

Sedikit resiko, mungkin itu benar. Namun, bila dikatakan gampang, nyatanya tidak juga. Beberapa tahun pengalaman saya dalam berbisnis online dengan segala macam produk yang saya tawarkan membuat saya merasakan sekali hal-hal apa saja yang sering menghambat dan memudahkan saya dalam menjual produk secara online.

Dalam memasarkan produk di awal-awal saya memulainya ternyata jauh diluar perkiraan saya. Respon pasar tidak terlalu menggembirakan, padahal, hampir setiap hari saya mencoba memajang produk saya di beranda, atau memberikan link-link produk saya pada suatu komunitas, atau bahkan saya mencoba iklan dibeberapa tempat yang terbilang gratisan. Kalau dilihat secara kasat mata, apa yang kurang dari produk saya ? Terkenal, iya. Kualitas bagus, juga iya, harga ? ya,memang sedikit mahal, tapi sebanding lah dengan kualitasnya.

Beberapa bulan saya sempat berhenti memasarkan produk secara online, saya mulai jenuh dengan pangsa pasar yang terbilang sedikit, dan tidak memberi saya kepastian, apakah ia tertarik atau tidak dengan produk yang saya jual.

Bulan demi bulan berlalu, walau saya tidak lagi gencar memromosikan produk, saya tetap menjadi silent reader untuk komunitas bisnis online dan orang-orang yang memiliki online shop yang ramai pengunjung. Saya coba pelajari secara autodidak, perlahan tapi pasti. Dan, ketika ada moment yang sangat pas untuk memulai kembali menggencarkan promosi produk saya.

Masih dengan ciri khas produk yang saya tawarkan, unik, mengedukasi dan harga yang nyaman dikantong dengan kualitas bagus, saya coba memulai kembali. Dan kebetulan, untuk produksinya, saya mengandalkan orang yang lebih memahami dunia produk yang akan saya gol kan. Saya coba memakai strategi berdagang yang lain, yang tidak hanya melulu membagikan, memajang produk, tapi cara lain yang lebih mendekati konsumen, dan membuat konsumen yakin untuk membeli produk saya.

Hasilnya ? sudah bisa ditebak, laris. Oh, ternyata, inilah passionku, jiwa dagangku mulai terlatih dengan beberapa kali kesalahan dan beberapa kali trial and error.
Dan, ternyata, untuk menjual produk secara online, tidak melulu barang bagus yang membuatnya laku, setidaknya itulah yang saya rasakan selama mencoba peruntungan tersebut.

Ini yang menjadi faktor penentu produk yang kita jual agar bisa laris (jualan via facebook ya...):

1. Kepercayaan
Inilah poin pertama yang saya tekankan, karena modal inilah, walau barang yang kita jual masih pasaran, atau biasa saja, dengan faktor kepercayaan (brand penjual), konsumen akan tertarik membeli. Dan, faktor kepercayaan ini tidak begitu saja terjalin, hanya karena, misal, penampilan foto penjual islami / sopan. Tetapi, membutuhkan beberapa waktu untuk menanamkan dalam hati pembeli, bahwa penjual itu terpercaya. Atau, kalau misalnya kita punya teman / link yang dekat dengan kita dan calon pembeli itu juga merupakan teman dari link kita, ia bisa memperkirakan sejauh mana kebenaran online shop itu dalam menjual produknya.

2. Produk
Ini saya masukkan poin kedua, karena produk adalah senjata yang ampuh untuk menjaring pelanggan. Dengan produk yang unik, dan segala kelebihan lainnya, akan memungkinkan pembeli tertarik, namun, pengalaman saya, tetap saja kembali pada poin pertama diatas, hehe.

3. Keramahan
Menjadi poin ke tiga karena keramahan adalah salah satu hal terpenting untuk meyakinkan pembeli. Menjadi ramah dalam dunia bisnis online bisa dilakukan dengan berbagai cara. Diantaranya adalah, menyapa terlebih dahulu teman-teman lama, mengajaknya bicara, tanpa ujug-ujug menjual, ini bisa dilakukan dilain waktu. Atau bisa dengan mengikuti suatu komunitas, dan kita ikut terjun di dalamnya, dengan posting sesuatu (bukan dagangan loh), memberikan komentar-komentar positif pada setiap status teman baru, atau ikut memberikan solusi jika teman dalam komunitas tersebut sedang terlibat masalah. Intinya, perkenalkan image baik kita dulu, sebelum menjual.

4. Harga jual
Ini juga yang menjadi pertimbangan pembeli, namun, percayalah, ketika pembeli sudah percaya, mengenal penjualnya, mengetahui produknya bagus, harga akan menempati posisi ke sekian, kalau pun di tawar karena misalnya ia tahu di online shop lain dijual harga lebih murah, ia tetap akan sungkan untuk menawar dengan harga yang terlalu jatuh. Dan, tetap akan memilih penjual yang ia “percaya” demi keamanan bertransaksi.

5. Pelayanan
Banyak juga pembeli kecewa dengan pelayanan penjual online shop yang kurang ramah, dan akhirnya memutuskan untuk tidak jadi membeli produknya.
Lima poin dulu yang saya coba berikan, selanjutnya menyusul ya, karena saya pun masih belajar menganalisa pasar dan tentunya kemampuan dalam diri saya sendiri. Semoga bermanfaat.

Salam, dan semangat menjaring konsumen, ya...!