SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA, UNTAIAN SEDERHANA NAMUN SARAT MAKNA

Minggu, 05 Agustus 2012

Renungan Tentang Ikan Wader Tepung



 
Seri Ramadhan 1433 H

Salah satu ritual rutin yang saya sering lakukan sebelum tidur adalah merenung, terlebih di bulan Ramadhan, peningkatan perenungan saya akan lebih intens dari bulan-bulan lainnya. Saya teringat tentang kejadian yang saya lalui saat  buka bersama dengan teman-teman kemarin ( 2 agustus 2012 ). Ceritanya, kami, berjumlah lebih dari 20 orang sudah sepakat untuk buka bersama di salah satu restoran yang terbilang baru, dan, katanya harganya juga asyik dikantong, alias, nggak mahal. Sekitar H-1 salah seorang teman saya booking tempat, sekitar tujuh meja. Ia pun berinisiatif mengambil menu ikan nila bakar, disertai konco-konconya, seperti, kangkung, sambal semut rangrang ( pedas banget soalnya :D ), lalapan, tempe goreng, dan tambahannya, ikan wader ditepungin. Tepat di hari H, kami semua berkumpul. Sebenarnya sih, teman saya hanya berjumlah lima orang, tapi, berhubung momen spesial ramdhan kali ini bertema keluarga, jadi, seluruh anggota keluarga juga diajak ikut serta, yaitu, suami dan anak-anak. Hm, kalau anak saya sih masih satu, tapi, kalau teman yang lain, jumlah anaknya sudah dua, tiga, dan empat. Kebayang deh ramenya.
Singkat cerita, ketika makanan sudah tersaji dengan lengkap di depan mata, yang paling menarik minat saya, bukanlah ikan bakar kecap dengan warna yang asli coklat menggoda itu. Namun, justru saya tertarik dengan ikan wader mungil yang digoreng tepung, terasa sekali kalau tangan saya sudah gatal ingin menjawil, memegang dan melahap ikan yang kelihatannya renyah itu. Adzan maghrib berkumandang, saya berbuka dengan air jeruk hangat, dan segera saja, kegatalan tangan saya itu langsung terealisasi, hehe.
“ Kresss…! ” Wow ! Gigitan  pertama saya saat itu begitu lincah, selanjutnya sudah bisa ditebak dong ? :D Ternyata benar, tampilan ikan yang menggoda itu sangat sesuai dengan rasanya yang gurih, renyah, kriuk, dan, ah, passs… deh. Dan satu lagi, tidak ada rasa pahit sedikit pun dalam cita rasa wader tepung tersebut. Saya menikmatinya, tanpa nasi. Rasanya, ingin sekali saya habiskan wader tersebut, tapi, Alhamdulillah, saya masih ingat teman-teman lain yang belum kebagian, hehe…
Selesai acara tersebut, seperti biasa, saya selalu menyempatkan diri mengomentari rasa menu makanan apapun pada suami saya, begini dan begitunya. Suami saya hanya mengangguk, tersenyum, khas yang selalu dia tunjukkan saat mendengar istrinya mulai ngoceh masalah makanan :D 
Salah satu hal yang saya sampaikan adalah tentang perbandingan rasa wader tepung yang berbeda dari beberapa tempat yang pernah saya kunjungi. Ditempat sebelumnya, sering kali saya temui kerenyahan wader yang masih diiringi dengan rasa pahit, yang saya sendiri tidak tahu berasal dari mana. Yang jelas, bukan lidah saya yang sedang bermasalah ya… !
Berangkat dari hal tersebut, saya menganalisa  bahwa perbedaan cita rasa tersebut terletak dari bagaimana proses pengolahan wader sehingga menjadi sajian yang maknyus, dan ngangeni di lidah. Secara kasat mata, dari segi fisik bangunan restoran tempat wader-wader tersebut diolah memang berbeda. Wader-wader agak pahit sebelumnya, saya temukan di rumah makan kecil. Sedang, untuk kali itu, rumah makan yang saya kunjungi lumayan besar, dan strategis, berada tepat di depan jalan raya. Jadi, kemungkinan besar, koki yang mengolah wader tersebut juga lebih professional, lebih tahu ilmu tentang per’wader’an (halah….), bahkan ‘mungkin’ lebih mahal bayarannya, jadi cita rasa yang dihasilkan, pasti berbeda.
Lalu, saya analogikan pengolahan wader ini dengan proses pendidikan anak. Pengolahan wader yang professional, akan sangat berpengaruh pada cita rasa. Begitu juga jika mendidik anak dilakukan secara professional, dengan terus belajar ilmu parenting, terus bereksperimen dan langsung ‘action’ setiap dapat ilmu yang didapatkan, insya Allah, kualitas generasi penerus yang dihasilkan juga akan berbeda, tidak bercita rasa seadanya. Dan, memiliki keunggulan-keunggulan yang akan membawa generasi penerus tersebut sanggup menantang masa depan.
            Ketika orangtua benar-benar mengusahakan yang terbaik untuk buah hatinya, baik dari segi waktu, perhatian, kasih sayang, stimulasi, nutrisi ( kalau ini bisa menyangkut materi), bisa dipastikan proses yang demikian panjang dalam mendidik buah hati akan berakhir manis dan menyenangkan.  Namun, bila yang dilakukan orang tuanya hanya proses seadanya, dengan sisa waktu, sisa tenaga, dan sisa-sisa lainnya, maka hasil yang didapat pun juga akan seadanya. Seperti rasa wader yang masih agak pahit. 
Memang, saya bukanlah orangtua yang sempurna, yang sanggup mengawasi anak saya 24 jam tanpa henti, yang bisa selalu hadir ketika anak saya kesulitan di luar sana. Tapi, setidaknya, dengan segala perenungan saya tentang hasil akhir sebuah wader dengan masalah pendidikan anak, bisa dijadikan acuan, pengingat, bahwa, tugas belajar saya masih banyak, anak saya masih balita, masih banyak waktu yang dibutuhkan untuk mengantarkannya menjadi manusia yang bermartabat dan bermanfaat. Karenanya, saya akan berusaha untuk terus belajar menjadi seorang ibu yang lebih berkualitas, dengan menyaring banyak ilmu dari sumber-sumber terpercaya. 
Mengutip ayat Al Qur’an surat An-nisa ayat  9:
“Dan hendaklah takut kepada Allah (cemas) orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir (terhadap kesejahteraan mereka). Oleh karena itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
Renungan terdalam buat saya pribadi adalah, menyiapkan generasi yang tangguh tidak semudah teorinya, namun, diperlukan proses panjang untuk selalu belajar dan belajar.
“Menuntut ilmu itu wajib hukumnya bagi setiap muslim.” (HR. Ibu Majah& Ibnu Abdil Barr)
Dan, alhamdulillah, anak saya bukan wader yang bisa diolah sesuka hati, jadi apapun, bagaimana pun rasanya, yang penting masuk perut. Namun, anak saya adalah amanah yang harus dengan penuh kehati-hatian dalam mendidiknya, mengingat akan sebuah pertanggungjawaban dihadapan Allah SWT kelak. So, ayo terus belajar, jangan pernah lelah, hingga ajal datang menghampiri kita. Allah terus menilai usaha kita, bukan hasilnya. Namun, bila ternyata dari proses tersebut mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan, bukankah itu kebahagiaan yang sangat besar ? 
Wallahu a’lam






TULISAN INI TERPILIH SEBAGAI PEMENANG HIBURAN DI LOMBA BLOG POJOK PULSA