SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA, UNTAIAN SEDERHANA NAMUN SARAT MAKNA

Senin, 08 November 2010

Indahnya Komunikasi



Awalnya saya berfikir bahwa komunikasi melalui tulisan itu adalah komunikasi yang terbaik. Writting is everything. Menulis dan tulisan adalah segalanya. Pemikiran tersebut mengendap sejak saya remaja. Saya hobi membaca, senang mengamati, mempelajari gaya penulisan orang-orang terkenal, dari yang ringan sampai yang berbobot. Menurut saya kala itu, melalui tulisan segala aspirasi penulis bisa terpenuhi, bisa tersampaikan dan dimengerti oleh pembaca.

Namun, seiring berjalannya waktu, pengklaiman akan writting is everything sedikit pudar. Apa sebabnya? Ternyata, tidak semua orang suka, bisa membaca dan tidak semua orang mengerti bahasa penulisan kita, walau itu penulisan ringan sekalipun. Perbedaan karakter, latar belakang keluarga, tingkat pendidikan, dan keluasan cakrawala adalah hal yang berpengaruh terhadap persepsi seseorang pada tulisan. Dan yang paling benar-benar mempengaruhi adalah kondisi hati dan jiwa kita. Jadi, walaupun hal-hal yang sebelumnya tadi terpenuhi, namun dengan kondisi kejiwaan dan hati orang yang fluktuatif, mampu mengubah sudut pandang tulisan dalam sekejap. Atau mudahnya, dalam kondisi hati yang berbeda, pesan yang sampai pun akan diterimanya berbeda-beda dari yang diharapkan penulis. Adakalanya ketika hati sedang bahagia, membaca tulisan menyindir dirinya sekalipun, masih bisa tetap tenang.

 Namun berbeda bila kala itu suasana hati sedang sedikit kacau, tulisan yang terbaca tanpa bermaksud sindiran dari penulis sekalipun akan membuat si pembaca kesal, emosi dan respon negatif lainnya. Padahal kemungkinan si penulis tidak sama sekali berniat membuat sensasi atau istilahnya mencari ribut. Manusiawi memang jika setiap orang bebas bertindak apapun jika harga dirinya terusik. Namun, apakah manusiawi juga jika penulisan yang tadinya ditunjukkan hanya sebagai tanda persahabatan atau sebagai lampu kuning untuk persiapan berjalan diberikan persepsi negatif dengan berbagai alibi yang menjustifikasi si penulis. Kalau seperti ini, mengalah adalah solusi terbaik untuk menghindari perdebatan panjang lewat tulisan.

Perang mulut, perang fisik bisa dilakukan siapa saja, bahkan nenek tua sekalipun. Namun, perang tulisan hanya bisa dilakukan oleh segelintir orang yang memang bisa dan mau menulis. Itu sepenggal cerita lama tentang tulisan. Seiring waktu, semakin dewasanya saya. Lebih memahami, bahwa tulisan hanya menjadi sarana. tapi bukan yang efektif dan yang terbaik. Berbagai pengalaman telah saya lalui sehubungan dengan filosofi tulisan tersebut dan masih terekam dalam memori saya. Bahwa memang bukan tulisanlah yang bisa mengantarkan setiap orang menuju komunikasi dua arah, yang sejalan dan seimbang. 

Namun, komunikasi bicara lah yang lebih efektif untuk menyampaikan berbagai keinginan dan kekecewaan. Dan diskusi lah sarana yang tepat untuk penyatuan perbedaan isi kepala manusia. Ketika satu orang berbicara mengungkap maksud dan keinginannya, orang yang lain mendengar dan menanggapi. Disitulah tercipta keragaman pendapat, tercipta konflik yang memang harus diselesaikan dengan etika yang baik dan kepala dingin. Berbeda dengan tulisan, ketika kondisi hati pembaca sedang bad mood, maka maksud si penulis pun bisa tidak tersampaikan dengan positif. Dan yang pasti, biasanya orang yang sedang bad mood itu malas membaca, hanya segelintir orang saja yang justru membaca menjadi penyaluran bad mood-nya.

Ilmiahnya, ketika rasulullah menerima wahyu pertama di gua hira, diminta malaikat jibril untuk membaca, “IQRA” rasul pun menjawab “saya tidak bisa bisa membaca”. Lalu diulang lagi oleh jibril sampai tiga kali, “IQRA”, lalu rasul pun membaca wahyu tersebut. Benar, bahwa kunci orang menjadi pintar itu dengan membaca, dan membaca itu penting. Namun perlu juga kita analisa, bahwa sebelum akhirnya rasulullah membaca, terlebih dulu ada percakapan sedikit oleh malaikat jibril tentang perkenalan dan tujuan diutusnya jibril, juga tentang perintah jibril agar rasul ‘membaca’ wahyu Allah tersebut. Berarti kesimpulannya, ada komunikasi bicara sebelum akhirnya membaca. Komunikasi dua arah antara rasul dan jibril. Kita bisa tarik benang merah disini, bahwa komunikasi bicara yang dilakukan lebih dulu bisa memperjelas maksud dan keinginan yang akan disampaikan pada lawan bicara kita, daripada melalui tulisan atau membaca.

Subhanallah, yang telah mencontohkan kita melalui segala perilaku rasulullah. Hal sekecil apapun bila kita renungkan dan kita korelasikan antara zaman kini dan sirah nabi dahulu, selalu saja ada jejak yang bisa dijadikan kekuatan ilmiah atas segala sesuatu. Berarti, tulisan bukanlah yang utama. Setelah penerimaan wahyu sedikit demi sedikit, barulah mulai dikumpulkan satu demi satu, dan jadilah Al qur’an yang selama ini menjadi kitab suci kita, untuk dibaca, dipelajari dan diamalkan.

Tulisan ini pun merupakan analisis sekejap terhadap suatu peristiwa dan banyak hikmah yang bisa saya ambil dari peristiwa yang berhubungan dengan dunia tulisan tersebut. Dan yang pasti, kini saya lebih yakin lagi, tidak semua orang mampu menerjemahkan maksud dan keinginan kita pada oranglain, melalui tulisan. Alhamdulillah, ada ilmu kehidupan yang saya dapat dan semoga bisa menjadi pembelajaran berharga untuk saya di kemudian hari. Look for the best communication, with the best action ! Wallahu a’lam
Solo, Januari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Yang copas tulisan di blog saya, mohon sertakan link ya....thx...